Kalau kita berbicara tentang Indonesia, kebanyakan orang akan mengatakan Indonesia adalah negara yang besar. Kebanyakan para pejabat pemerintah juga mengatakan seperti itu. Tetapi kalau ditelaah lagi, sebenarnya Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar. Benar atau tidak? silahkan direnungkan sendiri.
Seperti yang kita ketahui, pendidikan di Indonesia terinspirasi dari tokoh lokal, yaitu Ki Hajar Dewantoro dengan semboyanya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung). Dan jika kita melihat pendidikan di Indonesia, saya bisa mengatakan belum konsisten. Tuntutan pihak terkait mematok seperti "ini" namun, mereka belum meperhatikan fakta dilapangan (itu menurut pandangan saya). Contohnya siswa belajar susah payah mengejar nilai untuk Ujian Nasional, sementara masa tempuh sekolah seperti untuk SD 6 tahun dan hanya ditentukan kelulusannya dengan nilai UAN. Apa itu adil? Sistem pendidikan di Indonesia sejauh ini menerapkan teori Bloom bahwa hasil belajar siswa digolongkan dalam tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Penerapannya sisi kognitif lah yang mendapat sorotan paling penting. Sebagai contoh ketika orang tua memandang nilai adalah hal yang paling utama dalam mengukur kecerdasan anak. Saya juga merasakan seperti itu, orang tua saya sering memarahi ketika nilai saya jelek.
Hal yang sangat menggelitik imajinasi saya ketika kuliah tadi pagi adalah saat dosen saya mengatakan "Pendidikan itu bukan diajarkan, namun pendidikan itu dicontohkan". Sebagai ilustrasinya ketika seorang guru sering datang terlambat, lalu siswa datang terlambat dan guru itu memarahi. Dan saat siswa ditanya kenapa terlambat tak jarang siswa berani mengatakan "bu guru juga sering terlambat". Seorang guru membuang sampah disembarang tempat, keesokan hari guru itu melihat siswa membuang sampah di sembarang tempat. Ketika ditanya siswa itu bisa menjawab "pak guru juga buang sampah sembarangan". Lalu, bagaimana sikap kita sebagai seorang pengajar. Dalam hal ini bukan hanya guru, namun orang tua juga menjadi panutan.
Menjadi seorang pengajar adalah amanah yang menurut saya tidak mudah. Dimana kita harus memulai dari diri kita sendiri dan menjadi contoh bagi peserta didik. Saya setuju ketika dosen saya berpendapat seperti itu bahwa pendidikan bukan diajarkan, namun pendidikan itu dicontohkan. Dan pesan yang saya dapat menakala saya mengajukan pertanyaan kepada pak dosen "kita sebagai calon pengajar yang nantinya akan membawa dunia pendidikan Indonesia, menurut bapak harus bersikap bagaimana?" jawaban dari pak dosen adalah "kenali lebih dalam pelopor Indonesia, dan mulailah dari diri Anda masing-masing ketika anda akan terjun ke dunia pendidikan yang sebenarnya. Dan perhatikan bahwa ketiga aspek dalam teori Bloom harus berjalan beriringan, dimana kognitif harus diimbangi dengan afektif atau sikap moral dan ditunjang dengan life skill".
Mari kita renungkan, bagaimana seharusnya kita membawa perubahan dalam negeri ini!!!!
Seperti yang kita ketahui, pendidikan di Indonesia terinspirasi dari tokoh lokal, yaitu Ki Hajar Dewantoro dengan semboyanya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung). Dan jika kita melihat pendidikan di Indonesia, saya bisa mengatakan belum konsisten. Tuntutan pihak terkait mematok seperti "ini" namun, mereka belum meperhatikan fakta dilapangan (itu menurut pandangan saya). Contohnya siswa belajar susah payah mengejar nilai untuk Ujian Nasional, sementara masa tempuh sekolah seperti untuk SD 6 tahun dan hanya ditentukan kelulusannya dengan nilai UAN. Apa itu adil? Sistem pendidikan di Indonesia sejauh ini menerapkan teori Bloom bahwa hasil belajar siswa digolongkan dalam tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Penerapannya sisi kognitif lah yang mendapat sorotan paling penting. Sebagai contoh ketika orang tua memandang nilai adalah hal yang paling utama dalam mengukur kecerdasan anak. Saya juga merasakan seperti itu, orang tua saya sering memarahi ketika nilai saya jelek.
Hal yang sangat menggelitik imajinasi saya ketika kuliah tadi pagi adalah saat dosen saya mengatakan "Pendidikan itu bukan diajarkan, namun pendidikan itu dicontohkan". Sebagai ilustrasinya ketika seorang guru sering datang terlambat, lalu siswa datang terlambat dan guru itu memarahi. Dan saat siswa ditanya kenapa terlambat tak jarang siswa berani mengatakan "bu guru juga sering terlambat". Seorang guru membuang sampah disembarang tempat, keesokan hari guru itu melihat siswa membuang sampah di sembarang tempat. Ketika ditanya siswa itu bisa menjawab "pak guru juga buang sampah sembarangan". Lalu, bagaimana sikap kita sebagai seorang pengajar. Dalam hal ini bukan hanya guru, namun orang tua juga menjadi panutan.
Menjadi seorang pengajar adalah amanah yang menurut saya tidak mudah. Dimana kita harus memulai dari diri kita sendiri dan menjadi contoh bagi peserta didik. Saya setuju ketika dosen saya berpendapat seperti itu bahwa pendidikan bukan diajarkan, namun pendidikan itu dicontohkan. Dan pesan yang saya dapat menakala saya mengajukan pertanyaan kepada pak dosen "kita sebagai calon pengajar yang nantinya akan membawa dunia pendidikan Indonesia, menurut bapak harus bersikap bagaimana?" jawaban dari pak dosen adalah "kenali lebih dalam pelopor Indonesia, dan mulailah dari diri Anda masing-masing ketika anda akan terjun ke dunia pendidikan yang sebenarnya. Dan perhatikan bahwa ketiga aspek dalam teori Bloom harus berjalan beriringan, dimana kognitif harus diimbangi dengan afektif atau sikap moral dan ditunjang dengan life skill".
Mari kita renungkan, bagaimana seharusnya kita membawa perubahan dalam negeri ini!!!!
"Buat Bieberfever nih ya, jangan harap bisa nonton Never Say Never. Karena apa? film holywood sekarang dilarang tayang di Indonesia." begitulah kira-kira berita pagi yang saya dengar kemarin. Kaget juga saya, kenapa mesti ada larangan seperti itu. Mana saya penggemar Justin Bieber juga . Adanya berita ini membuat saya penasaran. Dan ternyata benar, saya menemukan status teman saya di facebook yang juga mengatakan kalau film holywood dilarang tayang di Indonesia.
Kenapa juga siyh harus ada peraturan seperti itu? Yang pasti mengecewakan bagi sebagian pecinta movie. Sejauh ini saya memang cenderung menyukai film holywood. Dengan garapan yang apik membuat betah berlama-lama sambil menghabiskan camilan. Dan saya sangat mengagumi kekreatifan pihak-pihak yang menggarap film holywood. Tidak menutup kemungkinan bahwa garapan film Indonesia menurut saya juga bagus.
Setelah berseluncur lewat google, saya pun menemukan sedikit berita mengenai dilarangnya film Holywood tayang di bioskop Indonesia. Berita awal yang saya dengar adalah naiknya pajak film impor. Namun yang menjadi masalah adalah sejak Januari 2011 ini ada aturan dan penafsiran baru Direktorat Jenderal Bea Cukai atas UU/Peraturan tentang pajak bea masuk yang lama, yang diberlakukan per Januari 2011, yakni “BEA MASUK ATAS HAK DISTRIBUSI” YANG TIDAK LAZIM DAN TIDAK PERNAH ADA DALAM PRAKTIK BISNIS FILM DI SELURUH DUNIA! Sebab, yang disebut bea masuk itu hanya berlaku untuk BARANG MASUK. Berita selengkapnya silahkan ikuti di televisi masing-masing .
Dibenak saya, jika memang larangan itu berlaku di Indonesia harus mendapat hiburan film seperti apakah bagi para pecinta movie? Seperti Rumah Tanpa Jendela? atau film horor seperti Arwah Goyang Karawang? atau film-film lain yang memang layak dinikmati.
Lalu, menurut teman-teman adakah pendapat mengenai larangan itu? Dan solusi apakah yang tepat? Harapan saya semoga saja larangan itu dicabut sehingga saya bisa menikmati aksinya si ganteng Leonardo Dicaprio dan yang pasti saya sangat berharap Never Say Never bisa saya tonton di Citra 21 .
Kenapa juga siyh harus ada peraturan seperti itu? Yang pasti mengecewakan bagi sebagian pecinta movie. Sejauh ini saya memang cenderung menyukai film holywood. Dengan garapan yang apik membuat betah berlama-lama sambil menghabiskan camilan. Dan saya sangat mengagumi kekreatifan pihak-pihak yang menggarap film holywood. Tidak menutup kemungkinan bahwa garapan film Indonesia menurut saya juga bagus.
Setelah berseluncur lewat google, saya pun menemukan sedikit berita mengenai dilarangnya film Holywood tayang di bioskop Indonesia. Berita awal yang saya dengar adalah naiknya pajak film impor. Namun yang menjadi masalah adalah sejak Januari 2011 ini ada aturan dan penafsiran baru Direktorat Jenderal Bea Cukai atas UU/Peraturan tentang pajak bea masuk yang lama, yang diberlakukan per Januari 2011, yakni “BEA MASUK ATAS HAK DISTRIBUSI” YANG TIDAK LAZIM DAN TIDAK PERNAH ADA DALAM PRAKTIK BISNIS FILM DI SELURUH DUNIA! Sebab, yang disebut bea masuk itu hanya berlaku untuk BARANG MASUK. Berita selengkapnya silahkan ikuti di televisi masing-masing .
Dibenak saya, jika memang larangan itu berlaku di Indonesia harus mendapat hiburan film seperti apakah bagi para pecinta movie? Seperti Rumah Tanpa Jendela? atau film horor seperti Arwah Goyang Karawang? atau film-film lain yang memang layak dinikmati.
Lalu, menurut teman-teman adakah pendapat mengenai larangan itu? Dan solusi apakah yang tepat? Harapan saya semoga saja larangan itu dicabut sehingga saya bisa menikmati aksinya si ganteng Leonardo Dicaprio dan yang pasti saya sangat berharap Never Say Never bisa saya tonton di Citra 21 .
S.E.D.E.R.H.A.N.A bukan berarti kita nggak punya kan? Lalu, apa yang ada di pikiran teman-teman mengenai kata Sederhana? Simpel, cuma 1 kalimat tetapi menyimpan sejuta arti #ciyee
Sejauh ini selama saya hidup dari kecil sampai umur 21th ini saya merasa sangat bangga dengan orang tua saya. Karena apa? Karena mereka membesarkan saya, mengajarkan saya, mendidik saya dengan cara yang sederhana. Memang terkadang sesuatu yang lebih mereka beri untuk saya dam mbak saya, tetapi semua masih dalam porsi yang sederhana.
Di kampus, saya temui dosen saya yang sudah cukup sepuh. Sering mengajar di kelas saya dan terkadang mahasiswa "menyepelekan" beliau karena beliau terkesan sangat sederhana. Padahal kalau dari sudut pandang saya beliau itu jenius, memiliki sesuatu yang sebenarnya beliau bisa pamerkan ke khalayak. Tetapi kembali lagi bahwa saya mengidolakan beliau karena kesederhanaan yang beliau miliki.
Teman dekat saya, dari kecil sampai sekarang tumbuh dan besar bersama. Background keluarga yang sangan berbeda. Sekolah yang berbeda, namun persahabatan kami masih terjalin sampai saat ini dengan berbagai kesederhanaan yang ia miliki dan saya belajar banyak hal dari dia.
Mengenal begitu banyak teman, di kampus maupun di kos. Bersosialisasi dengan orang banyak terkadang susah, namun saya tetap mencari kesederhanaan yang mereka miliki sekalipun mereka anak orang tajir, konglomerat, anak jendral. Tapi kenapa justru mereka memilih orang yang biasanya setaraf dengan mereka. Maaf bukan berarti mengejudge tetapi fenomena yang saya temui memang seperti itu.
Lalu, apakah sederhana itu dilarang? apakah dengan kesederhanaan yang dimiliki seseorang menandakan bahwa orang itu tidak mampu/ tidak punya?? Silahkan teman-teman nilai sendiri. Yang jelas belajar untuk sederhana itu tidaklah mudah, tetapi sangat mengasyikkan.
Sejauh ini selama saya hidup dari kecil sampai umur 21th ini saya merasa sangat bangga dengan orang tua saya. Karena apa? Karena mereka membesarkan saya, mengajarkan saya, mendidik saya dengan cara yang sederhana. Memang terkadang sesuatu yang lebih mereka beri untuk saya dam mbak saya, tetapi semua masih dalam porsi yang sederhana.
Di kampus, saya temui dosen saya yang sudah cukup sepuh. Sering mengajar di kelas saya dan terkadang mahasiswa "menyepelekan" beliau karena beliau terkesan sangat sederhana. Padahal kalau dari sudut pandang saya beliau itu jenius, memiliki sesuatu yang sebenarnya beliau bisa pamerkan ke khalayak. Tetapi kembali lagi bahwa saya mengidolakan beliau karena kesederhanaan yang beliau miliki.
Teman dekat saya, dari kecil sampai sekarang tumbuh dan besar bersama. Background keluarga yang sangan berbeda. Sekolah yang berbeda, namun persahabatan kami masih terjalin sampai saat ini dengan berbagai kesederhanaan yang ia miliki dan saya belajar banyak hal dari dia.
Mengenal begitu banyak teman, di kampus maupun di kos. Bersosialisasi dengan orang banyak terkadang susah, namun saya tetap mencari kesederhanaan yang mereka miliki sekalipun mereka anak orang tajir, konglomerat, anak jendral. Tapi kenapa justru mereka memilih orang yang biasanya setaraf dengan mereka. Maaf bukan berarti mengejudge tetapi fenomena yang saya temui memang seperti itu.
Lalu, apakah sederhana itu dilarang? apakah dengan kesederhanaan yang dimiliki seseorang menandakan bahwa orang itu tidak mampu/ tidak punya?? Silahkan teman-teman nilai sendiri. Yang jelas belajar untuk sederhana itu tidaklah mudah, tetapi sangat mengasyikkan.
Ada saja yang orang lakukan kalau sedang banyak pikiran. Patah hati misalnya biasanya banyak orang tuh nangis, Sebel biasanya marah-marah nggak jelas. Lha kalo stress kayak saya gini apa ya yang biasa dilakuin? Saya stress bukan karena gila, bukan karena patah hati, dan juga bukan karena sebel. Tapi saya stress karena hari ini memang suram. Hadiah terindah sebelum maju seminar proposal tanggal 1 Februari adalah "Semprotan manis dari wali study". Semua juga karena kecerobohan saya, salah menuliskan nama dan gelarnya. Uh....suram banget siyh :(.
Yah, saya terima saja deh itu. Tapi sedikit menyisakan luka dihati saya. Mengkritik judul proposal skripsi saya. Haduh mak.. sakit *tapi ya nggak selebay itu deh. Pulang kos dengan muka cemberut begitu, masuk kamar langsung deh menyerbu novel yang kemarin baru saya beli. Dan hari ini selesai deh baca novelnya. Belum juga ilang stress yang melanda diriku, akhirnya kertas HVS kosong saya ambil. Mencari-cari pensil dan penghapus, iseng deh bikin garis-garis gitu.
Belum juga selesai si Daniel komentar "bikin apa to ndul, kok elek banget" (Bikin apa to ndul, kok jelek banget). Hemm... belum tau dia, garis-garis ini kalau dikasih warna dan berani memainkan warna jadinya akan bagus loh. Gak percaya? Buktikan sendiri deh :).
Dan dengan imajinasi ala jamur di game Super Mario Bross, finally jadi deyh gambar "pegunungan berjamur"
Yah, saya terima saja deh itu. Tapi sedikit menyisakan luka dihati saya. Mengkritik judul proposal skripsi saya. Haduh mak.. sakit *tapi ya nggak selebay itu deh. Pulang kos dengan muka cemberut begitu, masuk kamar langsung deh menyerbu novel yang kemarin baru saya beli. Dan hari ini selesai deh baca novelnya. Belum juga ilang stress yang melanda diriku, akhirnya kertas HVS kosong saya ambil. Mencari-cari pensil dan penghapus, iseng deh bikin garis-garis gitu.
Belum juga selesai si Daniel komentar "bikin apa to ndul, kok elek banget" (Bikin apa to ndul, kok jelek banget). Hemm... belum tau dia, garis-garis ini kalau dikasih warna dan berani memainkan warna jadinya akan bagus loh. Gak percaya? Buktikan sendiri deh :).
Dan dengan imajinasi ala jamur di game Super Mario Bross, finally jadi deyh gambar "pegunungan berjamur"
Dan inilah hasilnya.. Taraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...Jangan kaget yah :D
Dan 1 lagi deyh :D Biar afdol :D ahihihihihi
Play With Colour, nggak ada salahnya juga kan menggali kreatifitas meskipun kita sedang dalam keadaan yang bisa dikatakan tidak baik. Percayalah kalau karya kita bagus pasti orang lain akan menilai bagus. Persepsi tentang estetika itu tak bisa dipaksakan. Garis, warna, dan imajinasi bisa menyatu untuk memberikan sesuatu yang beda dengan cara yang berbeda pula.
Susah untuk dicerna? Silahkan artikan bagaimana menurut teman-teman. Jangan takut untuk bermain dengan warna. Karena hidup sebenarnya juga BERWARNA loh!
Susah untuk dicerna? Silahkan artikan bagaimana menurut teman-teman. Jangan takut untuk bermain dengan warna. Karena hidup sebenarnya juga BERWARNA loh!