Tentang Buku Tulis Bersampul Coklat ~ kalian ingat tidak kenangan waktu zaman SD, sebuah buku bersampul coklat yang menurut saya sangat legend? Dengan gambar siswa dan siswi dan di sisi belakang terdapat gambar Pancasila beserta tulisan silanya.
Kalau kalian pernah menyampuli buku kalian dengan sampul tersebut, fix kita satu generasi!
Seolah tak lekang oleh waktu, sampul coklat entah kertas payung atau memang sampul yang seperti saya deskripsikan di atas. Di era saat ini yang semuanya serba aestetic, sampul coklat yang identik banget dengan anak sekolah ternyata masih ada, loh.
Nggak percaya? Nih buktinya!
Secara visual memang masih tampak sama dengan sampul coklat yang dulu sering banget saya pakai. Namun ini tidak setipis milik saya dulu. Hahaha.
Waktu saya membeli sampul ini sebenarnya sangat tidak saya rencanakan. Jadi ketika menemukan rak sampul buku, saya melihat-lihat aneka macam sampul tapi tangan saya langsung tertuju dengan sampul coklat itu. Berasama dengan kenangan masa kecil yang sangat berkesan. Bahkan saya masih mengingatnya sampai saat ini.
Tentang Buku Tulis Bersampul Coklat....
Buku itu adalah "Buku Campuran" yang mbak siapkan untuk memenuhi perintah Bu Ir. Guru saya saat kelas 2 SD. Mbak saya satu-satunya yang saat itu masih harus sering pulang pergi ke Semarang memang sangat jarang sekali menemani saya bermain ataupun belajar. Sehingga ketika mbak pulang di setiap weekend, saya selalu "mencari perhatian" dari mbak dan berujung berantem. Dasar ya 😂😓
Mbak selalu membawa oleh-oleh setiap kali pulang. Entah permen, buku tulis lucu-lucu yang tidak ada di Purwodadi, tas sekolah, atau yang lainnya. Yang saya meyakini dia menyiapkan dan sengaja membeli itu untuk adik satu-satunya ini dengan sepenuh cinta.
Kembali soal buku tulis bersampul coklat. Ketika pelajaran memang sering sekali menggunakan "Buku Campuran" itu sehingga lembaran yang terpakai jauh lebih banyak dari buku-buku tulis lainnya. Dan entah kenapa setiap mengeluarkan buku itu dari tas, saya merasa senang dan bangga!
"Ini tulisan siapa?" Diska, teman sebangku saya tiba-tiba bertanya.
"Ini tulisan mbakku. Mbak Ning!" Jawab saya dengan mantap.
"Tulisan mbakmu apik, yo!" (Tulisan mbak kamu bagus, ya!)
Komentar yang membuat saya semakin menyukai buku campuran bersampul coklat tersebut. Buku yang agak tebal, sampul coklat dan dilengkapi dengan sampul plastik. Meski sering dipakai, buku itu tetap paling rapi dari yang lainnya.
Adalah sebuah buku yang ada mbak di dalamnya. Seingat saya, sambil menonton Dunia Dalam Berita malam itu, mbak menyampuli buku itu dan menatanya di dalam tas bergambar Twetty. Tas yang juga mbak belikan dari Semarang.
Saya belum menyadari saat itu, hanya saja saya selalu terkenang dengan apa yang sudah mbak lakukan malam itu. Yang kata bapak kita selalu berantem setiap kali kumpul. Bahkan setua ini saja, sesekali masih sering berantem. Karena kami sama-sama keras dan entahlah ada rasa sayang tapi gengsi untuk mengungkapkan.
Buku bersampul coklat itu sudah tidak ada sisanya, tetapi kenangannya selalu ada di hati dan ingatan saya. Entahlah, sampul seharga 250 perak saja sebegitu berkesannya bagi saya. Makanya, ketika melihat sampul coklat itu tadi, saya buru-buru mengambilnya.
Ingatan dan Emosi yang Muncul adalah Kenangan Manis Masa Kecil
Kami bertumbuh tidak hanya diisi dengan berantem saja. Kami bertumbuh meski diiringi dengan istilah sibling rivalry, tetapi tetap saja bapak dan ibu memperlakukan kami dengan seadil-adilnya. Menurut devinisi adil orang tua kita.
Pernah menyalahkan kenapa saya lahir harus berselang 15 tahun dengan mbak. Ketika dibandingkan dengan mbak, rasanya nggak terlalu sakit-sakit banget. Tetapi, lama kelamaan ketika mulut orang-orang membandingkan saya dengan mbak, rasanya ya SUDAH BIASA untuk dibandingkan. Berdamai dengan diri dan semua gejolaknya.
Salah satu halaman dari buku Luka Performa Bahagia |
Apakah saya marah? IYA, awalnya saya marah. Tetapi, yang membuat diri saya jauh lebih bisa menerima adalah dengan menerima seutuhnya bahwa saya dan mbak hidup di masa yang berbeda. Orang tua membandingkan adalah hal lumrah yang sudah bisa saya maklumi.
Karena saya pernah merasa sangat kelelahan "bermain di luar rumah" dan enggan untuk kembali (mulih) karena ego yang masih sangat menggebu-gebu. Yang ada saya jauh lebih capek secara pikiran maupun emosi.
Namun, saya belajar menyadari bahwa Mulih ke dalam diri sendiri adalah cara yang tepat untuk menemukan kedamaian. Bersama dengan Luka Performa Bahagia yang menjadi pertemuan kedua saya bersama dengan Ruang Pulih, saya bermain dengan mandala art therapy di setiap akhir BAB dan menuliskan semua emosi yang muncul.
Mengasuhnya, agar saya bisa lebih nrimo. Menyadarinya bahwa dibalik kerasnya mbak ke saya juga ada trauma masa kecil yang belum sepenuhnya beliau sembuhkan. Tidak apa-apa, karena semua memang butuh berproses.
Untuk melihat monster dalam diri kita, lalu memeluknya dengan cinta dan menemukan kebahagiaan diri bersama diri yang lebih bahagia. Kunci utama adalah keberanian kita.
Pesan Ibu...
Ibu berpesan sebelum beliau berpulang. Bahwa saya harus menjaga mbak dan bapak. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan perkataan ibu, namun dua bulan terakhir ini saya menjadi sangat paham kenapa ibu sering berpesan seperti itu ke saya.
"Sing ngalah, sing nrimo. Mbak karo Bapak dijaga ya, nduk!"
Berat sih sebenarnya, tetapi berproses menerima semua luka meskipun harus naik dan turun fasenya, emosinya, sedihnya, senengnya ternyata semakin membuat saya menjadi lebih kuat.
Tak ada lagi kemarahan dengan orang tua, meski kadang kenangan menyedihkan muncul, saya bisa lebih menerima dan memahaminya. Meski masih ada yang membandingkan dengan mbak, saya bisa lebih santai meresponnya.
“Unconditional love; the definition of sister.” ~ Alicia Cook ~ apapun yang orang katakan tentang mbak saya satu-satunya, tugas saya adalah menjalankan amanah ibu untuk menjaganya.
Menerima luka, mengasuh performanya, dan menjadi lebih bahagia. Dan kenangan buku bersampul coklat itu adalah salah satu kenangan terindah saya tentang mbak