Juni lalu
keluarga besar saya dihantam badai covid-19. Kami benar-benar tidak menyangka
pada akhirnya akan terkena “giliran” merasakan si virus ini. Meski hasil swab
antigen saya negative, mendampingi bapak isolasi mandiri sangatlah tidak mudah.
Fisik dan pikiran harus bercabang, serasa amoeba yang bisa membelah diri. Ya ngurus
bayi berusia 4 bulan, mendampingi bapak dan menyiapkan semua keperluannya
selama isoman, belum lagi harus memantau kabar ibu dan mbak yang harus isolasi
di rumah sakit.
"Ibuk... Bapak datang!!! Itu di belakangnya ada truk dan juga mobil polisi, buk!" Saya berteriak disaat ibu masih sibuk dengan jahitan baju kebaya pesenan Bulik Darni. Teriakan saya itu membuat ibu meletakkan potongan kain yang hendak di jahit. Sembari melepas kacamata berlensa cembung yang setia menemani ibu, dengan langkah cepat ibu segera menuju teras.
Kita Nikmati Duka Ini ya Pak, Mbak! ~ Lepas isya tadi, saya sengaja menghampiri bapak yang sedang duduk termenung di lorong rumah belakang. Rumah kami sudah resmi terpisah meski masih banyak tamu yang njujug rumah depan untuk bertemu dengan bapak. Saya dan suami resmi dipisah dari bapak ibu dengan dalih "mandiri", meski realitanya ibu benar-benar berpisah dengan kami.
Teman, saat ini atau lebih tepatnya tiga minggu belakangan ini. Kondisi saya dalam keadaan sedang tidak baik-baik saja. Tadinya, saya berfikir "ah, alhamdulillah. Setelah ini sudah mulai agak tenang lika-likunya". Akan tetapi, Tuhan Yang Maha memberi ternyata menghadiahkan saya sesuatu, dimana saat ini sebenarnya saya dalam keadaan down. Saya tersadar bahwa jumawa menjadi bagian dalam diri saya saat itu.