Aku sedang merenungi sesuatu.. Mana sedang hujan lagi ketika ngetik ini. Kira-kira begini.... Kalau targetnya di tahun 2045 nantinya Indonesia melahirkan generasi emas, peran penting itu lahir dari siapa? Oke.. Anggap saja kita sepakat kalau lahir dari keluarga yaaa sebagai komponen utamanya. In case tentang asupan gizi dan pola asuh anak-anak. Selain itu ada peran siapa? Yaaa.. Guru. Oke.. Sepakat yaa... Guru.
Sedikit bercerita ya kemarin ketika pulang jemput Intan aku mampir beli ayam potong di pasar. Kebetulan penjualnya sudah kukutan *apa ya istilah bahasa Indonesianya. Yang pasti aku menyimak bahwa si nenek itu hendak menjemput cucunya yang kebetulan ada jadwal les. Lalu, dengan rasa bangga si nenek itu menceritakan soal cucunya kurang seperti ini :
"Aku seneng banget cucuku mau les sama gurunya. Tes aja dikasih soal yang buat tes besok. Soale difotocopy trus dikasihke ke anak lesnya!"
Responku saat itu...
Diem.. Agak nge-freze, lalu senyum nyengir aja dan cuma membalas "ohh... ". Tapi yang aku pikirkan justru perasaan Intan yang kebetulan ada disampingku.
Bahkan setelah aku menyelesaikan transaksi jual beli ayam potong dengan sedikit drama pembantaian menjadi beberapa bagian, aku menggenggam tangan anak pertamaku dengan sangat erat dan mbatin " Maafin mama harus mendidikmu sangat keras".
Benar saja, sepanjang perjalanan Intan berkali-kali nanya. Namun jawaban yang aku berikan juga tidak mau sepenuhnya menyalahkan si anak, si nenek itu dan gurunya. Aku nggak ada urusan tapi justru merasa kasihan. Nuraniku bergejolak namun ketika curhat ke bapak, beliau meyakinkan "yang penting tekankan ke anak-anakmu saja!". Oke... Sampai disini paham kan?
Lalu aku berpikir dan merefleksi...
1. Apa nggak kasihan sama si anak-anak itu?
2. Mengejar nilai tapi melewatkan ada hal penting yang akan hilang dalam diri anak-anak itu?
3. Efek jangka panjang yang akan ditimbulkan?
4. Evaluasi dari cara, strategi mengajar gurunya apakah berhasil?
Harusnya ini aku bahas lewat video tapi aku tak ada nyali untuk berkat-kata pedas dan lugas.
Yang aku sayangkan... Tiga belas tahun perjalanan menjadi guru, praktek memberikan bocoran soal ulangan ke murid belum juga punah. Atau memang idealismeku ini yang salah sehingga aku lebih memilih bekerja keras dengan anakku dan muridku supaya apa? Supaya OTAKNYA TERPAKAI DAN TERBIASA MIKIR.
Karena bagiku, sebuah proses penting itu adalah berpikir. Gimana mau mewujudkan profil pelajar pancasila kalau proses berfikir saja disepelekan. Ya udah nggak usah belajar asal bisa dapat nilai bagus.
Ya.. Idealismeku adalah sekolah itu jangan cuma mengejar nilai. Melainkan bagaimana kalian bisa mikir, bernalar kritis. Dan itu aku tekankan kepada anakku. Jangan ditanya bagaimana dia nangis setiap belajar matematika karena penjumlahan dan pengurangan saja masih belum bisa. Dan aku bersama papanya rela mengulang berkali-kali sampai dia bisa meskipun besok lupa lagi.
Lagipula... Asesmen ini kan juga sebagai salah satu cara mengukur sejauh mana keberhasilan guru dalam mengajar, nggak sih? Kok yaa sampai segitunya gitu.. In case nggak cuma di sekolah lain deh. Muridku saja juga ada kok dan aku tegur langsung anaknya juga orang tuanya.
Ini bukan hanya menyenggol kepercayaan ke guru kelasnya tapi juga harga diri guru kelasnya. Aseeeeeek.
Dan dengan adanya fenomena seperti ini yang ternyata belum surut, apakah generasi emas beneran akan tercipta? Jadi jangan cuma nguber-uber kesejahteraan guru. Guru sudah sejahtera apakah diikuti dengan sejahteranya mereka mengajar di kelas?
Tidak ada pihak yang aku sudutkan disini, tapi mari kita tanya pada nurani kita. Sudah benar dan berkah jalan kita dalam meraih ridhonya dengan menjadi guru. Yang jujur dan amanah?
0 comments
Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)