Waktu itu di tahun 2013 adalah kali
pertama saya mengajar di kelas 5. Merupakan tahun kedua saya menjadi seorang guru
honorer di sekolah tempat saya mengajar hingga saat ini. Adalah pengalaman
pertama mengajar jenjang kelas yang banyak lombanya. LCC, Jambore, OSN, LCTP
dan lain-lain.
Sejujurnya saya ragu pada saat itu.
Apakah saya mampu? Lha wong saya saja junior dan banyak senior yang pastinya
sangat handal. Namun, kepercayaan kepala sekolah menjadi cambuk bagi saya untuk
menepis keraguan itu. Terlebih ketika saya harus menghadapi lomba OSN dengan
mata pelajaran Matematika dan IPA. Sekali lagi, ini adalah pengalaman saya yang
pertama. Apalagi melihat soal-soal OSN saja tidak pernah.
Bersyukur sekali meskipun sekolah
berada di desa, jaringan internet masih bisa saya dapatkan melalui modem colok di laptop. Browsing soal-soal OSN dan mencoba memecahkan soal-soal tersebut. Saya
rela minum paramex karena pusing juga terutama soal Matematika. Tetapi demi
murid saya si Mamat, saya rela belajar lagi dan berdiskusi dengan Mamat setiap
hari di sela-sela jam pelajaran.
bu guru dan Mamat si jago matematika |
Dua bulan saya berkutat dengan Mamat dan soal-soal Matematika. Hari H telah tiba, saya tidak berekspektasi apa-apa. Hanya saja saya selalu menekankan kepada Mamat untuk dapat memberikan yang terbaik. Dua jam menunggu dengan hati berdebar, saya melihat senyum Mamat dari kursinya. Anak laki-laki berpipi cubby itu tampak lebih tenang, berbeda dengan saya yang menunggu hasil jawaban Mamat.
Lalu, ibu kepala sekolah menghampiri
saya. Dengan air mata yang menetes atau orang Jawa katakana mbrebes mili, saya
dipeluk oleh ibu kepala sekolah. Berkali-kali ucapan terimakasih beliau sampaikan
dan saya masih saja bingung ada apa. Ternyata sekolah saya yang saat itu
nasibnya diujung tanduk karena akan di regrouping dengan SD satu kompleks,
Mamat berhasil masuk 10 besar nilai teratas dari 75 peserta. Mamat berada di
posisi ke 8.
Entah seperti tersetrum, saya ingin
berteriak kegirangan tetapi saya tahan. Hanya air mata di sudut mata yang
menetes cukup deras. Saya bangga, terharu dan bahagia dengan pencapaian Mamat.
Dimana Mamat di posisi ke delapan adalah sejarah bagi SD Negeri 3 Ngembak kala
itu bisa nangkring di 10 besar seleksi OSN tingkat Kecamatan.
Tidak masalah di tingkat kecamatan, tetapi saya bangga dengan usaha saya dan Mamat. Ternyata keraguan saya terpatahkan dengan hasil yang ada di depan mata. Dari Mamatlah yang membuat saya tersadar menjadi guru SD tak serendah itu. Sejak awal, guru bukanlah cita-cita saya. Akan tetapi doa ibu menembus langit dimana ini semua berkat doa ibu untuk saya menjadi guru. Ya, honorer selama sebelas tahun tidaklah sebentar. Baru dua tahun ini saya resmi diterima sebagai ASN PPPK dengan drama gagal di tes CPNS sebanyak empat kali. Total tiga belas tahun saya menjadi seorang guru.
Mamat adalah salah satu dari cerita
perjalanan saya selama menjadi guru. Berkat Mamat pula yang membuka pemikiran
saya bahwa menjadi guru juga harus mau untuk belajar. Jika Indonesia saja bisa
merdeka, seorang guru juga harus bisa merdeka. Merdeka Belajar. Yang kalau
tidak belajar itu artinya sama saja seperti mayat hidup.
Iya, selama masih berstatus honorer
saya tidak mau terbelenggu dalam nelangsanya menjadi honorer. Saya belajar dan
menjalin relasi dengan teman-teman blogger di skala lnasional. Saling bertukar
cerita melalui laman blog, berbagi pengalaman hidup hingga perjalanan karier,
bahkan berteman lintas usia. Menjadi guru dan blogger juga mengiringi
perjalanan saya selama ini.
Event temu blogger se nusantara di Jogja tahun 2013 |
Dan imbasnya adalah saya merasa kaya dengan pengalaman dan pengetahuan yang dapat saya kombinasikan dengan kegiatan di kelas. Jauh sebelum ada Kurikulum Merdeka, kebermakanaan belajar sudah saya terapkan seperti ketika pembelajaran IPA saya menyertakan lingkungan sekitar di luar kelas sebagai sarana belajar. Ya, saya memilih cara yang berbeda agar murid-murid mendapatkan pemahaman yang lebih mudah. Bahkan mengajak Bela, Nono, Reno dan kawan-kawannya membuat diorama ekosistem juga menjadikan sebuah pembelajaran yang asyik hingga mereka enggan diajak pulang.
Di sisi lain cerita pengalaman belajar saya abadikan di blog dan social media. Tujuannya hanya satu kala itu, agar suatu saat bisa saya kenang ketika tidak lagi menjadi guru. Dan ternyata, pernah suatu hari saya mendapati sebuah chat whatsapp bahwa salah seorang murid membaca cerita saya di blog. Jujur saya bangga dengan diri saya yang sangat menyukai kenangan. Bahkan saya juga mengabadikan momen belajar murid-murid di kelas supaya tidak hanya saya saja yang tahu progress belajar murid. Pun orang tua mereka di rumah, melalui konten video yang saya upload di Instagram dan youtube orang tua tahu bahwa anak-anak mereka belajar hal baru setiap harinya.
Salah satunya adalah permainan spidol berguling ini. Asesmen formatif bahasa Indonesia dan supaya mereka lebih tertarik. Ternyata kelas sangat riuh dan seru. Begitu pula beberapa komentar wali murid yang disampaikan anak-anak keesokan harinya. "Ibu... kata bapakku to juga mau belajar di kelas!" hahaha.
Sekarang ini bergema sekali Guru Merdeka Belajar. Sebuah gerakan yang saya sangat bersyukur bahwa apa yang sudah selama ini saya lakukan untuk terus belajar, upgrade diri dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi bekal untuk mengajar terus digerakkan. Mengikuti lomba menulis skala local sampai nasional. Bahkan berkat cerita saya tentang peran sebagai guru pernah menjadi juara pertama di tahun 2014.
Baca di sini : Indonesia Hebat Melalui Peran Guru
Dan bersyukur saya
menjadi bagian dari Guru Penggerak angkatan 9 yang ilmunya juga bisa saya
terapkan di kelas.
PGP adalah tempatku belajar |
Tidak lagi saya hanya tertuju pada
nilai sehingga membuat saya melupakan ada hal lain yang harus diperhatikan
yaitu pembelajaran bermakna dan paham akan proses belajarnya. Tidak terburu
nafsu mengikuti semua webinar demi sertifikat dan pengakuan diri. Saya adalah
sepenuhnya artis di kelas dimana setiap detail yang terlihat dari penampilan,
tutur kata, dan sikap menjadi sorotan mata-mata indah calon generasi bangsa.
Saya merdeka menerapkan tujuan
belajar, bahkan dari kepintaran Dian Sastro dan kritisnya pemikiran seorang Najwa
Shihab pula yang menjadi inspirasi bagi saya bahwa seorang perempuan, menjadi
guru memang harus terus belajar. Tidak ada alas an untuk tidak belajar dan
mengembangkan diri. Tentunya besar harapan saya agar apa yang sudah selama ini
saya perlihatkan ke murid-murid dapat menginspirasi mereka. Sesederhana terinspirasi
untuk mau dan tidak lelah untuk belajar hal-hal baru.
Mengajar dengan hati tak sekedar
mengejar materi. Menempatkan diri sejajar dengan mereka agar mereka merasa
dimengerti, mendorong mereka untuk memiliki keberanian untuk mencoba dan tidak
takut salah, serta membersamai mereka layaknya seorang ibu membersamai tumbuh
kembang anaknya. Tentunya menjadi guru tidaklah mudah, tetapi dengan hati dan
ketulusan semua akan terasa mudah dan berbalik dengan luapan kasih yang tidak
ternilai harganya.
Dan saya... bangga menjadi seorang guru yang merdeka belajar. Semangat bapak ibu guru dimanapun
berada!
~ Tulisan ini diikutsertakan dalam Acara Wardah Inspiring Teacher 2024 Level 1 ~
#WardahInspiringteacher2024
#LearnInovateInspire
#BanggaJadiGuruBeraniMenginspirasi
#MemberdayakanDIri
1 comments
Keren banget buk
ReplyDeleteSilahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)