Penerapan Budaya Positif Untuk Menuju Profil Pelajar Pancasila

By Chela Ribut Firmawati - October 30, 2023

Paradigma pendidikan saat ini mengajak kita bahwa pembelajaran harus berpusat kepada murid. Begitulah kiranya yang Ki Hajar Dewantara harapkan semenjak dahulu. Murid bukanlah objek dalam pendidikan, melainkan bersama dengan guru yang berperan sebagai pemimpin pembelajaran, kita bertugas untuk menebalkan kodrat alam yang sudah ada dalam diri anak-anak. Murid bukanlah kertas kosong yang bisa kita gambar seperti apa yang kita inginkan. 


Untuk itulah sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan karakter pada murid di sekolah dan mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, kita harus dapat mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Sebuah seruan yang digadang-gadang dalam penerapan Kurikulum Merdeka dimana terdapat enam dimensi yang harus kita pahami. Dimensi itu diantaranya adalah : 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.

source : https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/profil-pelajar-pancasila

Upaya yang dapat kita terapkan adalah dengan menerapkan Budaya Positif. 
Budaya positif adalah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat, dan bertanggung jawab. Kunci utama terwujudnya budaya positif ini adalah dimulai dari pemimpin pembelajaran di kelas. Siapa lagi kalau bukan guru. Dan saya meyakini bahwa penerapan budaya positif hingga sampai di titik kita berhasil membentuk karakter murid sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila bukanlah satu hal yang mudah. Butuh kesadaran, kesabara, konsistensi dan juga gotong royong / kolaborasi dari semua stake holder yang saling berkaitan. 

6 Aspek Budaya Positif yang Harus Dipahami

  • Perubahan Paradigma Stimulus Respon

Disadari atau tidak sebagai seorang guru tentu kita merasa memiliki kontrol atas murid kita di kelas. Bahwa guru merasa apa yang diberikan baik dalam bentuk hukuman ataupun penghargaan adalah bertujuan untuk membentuk karakter mereka sehingga terkadang kita memaksakan tubuh-tubuh kecilnya mengikuti apa yang kita inginkan. Ternyata yang kita lakukan selama ini bertentangan dengan paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991)  mengatakan bahwa : 

“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau  perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita  perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia,  bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema  pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.

Kembali lagi bahwa semua harus bermula dari diri kita untuk mau merefleksi apakah disiplin yang selama ini kita terapkan sudah tepat atau belum.

  • Konsep Disiplin Positif

Disiplin selalu dikatikan dengan kepatuhan terhadap peraturan dan sifatnya memaksa. Disiplin positif merupakan salah satu cara penerapan disiplin yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran serta memberdayakan anak untuk melakukan sesuatu tanpa sogokan, ancaman, maupun hukuman. Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Dan tantangan kita sebagai guru adalah mampu menumbuhkan kesadaran disiplin dari dalam diri mereka. 

  • Keyakinan Kelas

Mengapa bukan peraturan kelas? Pertanyaan ini muncul dalam benak saya ketika mempelajari tentang keyakinan kelas. Bahwa dalam membawa perubahan budaya positif semua harus bermula dari kesepakatan warga kelas dengan menyesuaikan bagaimana karakter murid-murid kita. Jika peraturan kelas bersifat satu arah, berbeda dengan keyakinan kelas dimana dibentuk dan disepakati bersama dengan murid sebagai pelaku pendidian di kelas. 

  • Pemenuhan 5  Kebutuhan Dasar Manusia

Setiap tindakan manusia tentu memiliki alasan tertentu. Dimana semua dilakukan berdasarkan pada kebutuhan dasar yang ada dalam diri manusia. Begitupun murid dimana mereka "berulah" baik di dalam maupun luar kelas tentu memiliki alasan dan memiliki tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Ketika yang mereka inginkan terpenuhi itulah maka satu dari 5 kebutuhan dasarnya sebagai manusia terpenuhi. Lima kebutuhan dasar itu diantaranya adalah kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging) Kebutuhan untuk diterima, Kebebasan (freedom) kebutuhan akan pilihan, kesenangan (fun) kebutuhan akan rasa senang, dan Penguasaan (power) kebutuhan pengakuan atas kemampuan. 


Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan

  •  Lima Posisi Control

Teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah:

  1. Penghukum (Hukuman fisik atau verbal) “Patuhi tata tertib”
  2. Pembuat Orang Merasa Bersalah (Biasanya guru menyampaikan dengan suara yang lembut. “Bagaimana kalau orang tuamu tahu”
  3. Teman (Guru memposisikan sebagai teman) “Ingat tidak bantuan bapak selama ini
  4. Monitor (Pemantau/mengawasi) “apa yang telah kamu lakukan?”
  5. Manajer (mempersilahkan murid untuk mempertagungjawabkan perilakunya dan mencari solusinya

Dari kelima posisi kontrol diatas diharapkan guru dapat mengambil peran sebagai manager dimana guru memberi kesempatan kepada murid untuk belajar dari kesalahan dan belajar mengambil keputusan atas kesalahannya. 

  • Segitiga Restitusi 

Segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004 dalam LMS Guru Penggerak Modul 1.4 Budaya Positif 2021).


Langkah pertama pada bagian dasar segitiga adalah menstabilkan identitas. Jika anak berbuat salah maka ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses. Kita harus mampu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat seperti 1) tidak ada manusa yang sempurna; saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu. Ketika seseorang dalam kondisi emosional maka otak tidak akan mampu berpikir rasional, saat inilah kita menstabilkan identitas anak. Anak kita bantu untuk tenang dan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan.

Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep langkah kedua adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu (LMS Guru Penggerak, 2021). Ketika kita menolak anak yang berbuat salah, dia akan tetap dalam masalah. Yang diperlukan adalah kita memahami alasan melakukan hal tersebut sehingga anak merasa dipahami.


Langkah ketiga yaitu menanyakan keyakinan. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika langkah 1 dan Langkah 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Penting menanyakan ke anak  tentang kehidupan kedepan yang dia inginkan. Ketika mereka sudah menemukan gambaran masa depannya, guru dapat membantu mereka untuk tetap fokus pada gambarannya. Melalui segitiga restitusi kita dapat mewujudkan mereka menjadi murid yang merdeka. Mereka mampu menyelesaikan masalah dengan motivasi internal dan bertanggung jawab terhadap pilihannya.

Penerapan Segitiga Retitusi: 




Aksi nyata modul 1.4 : 



Kesimpulan : Dengan memahami keenam aspek penerapan disiplin positif diharapkan seorang pemimpin pembelajaran dapat membawa perubahan yang lebih baik dan mampu membentuk karakter murid untuk membawa mereka pada Profil Pelajar Pancasila. Berproses untuk berubah memang bukan hal mudah akan tetapi kita harus selalu mau belajar dan membuka diri pada setiap perubahan yang ada dan tetap memanusiakan murid-murid kita sebagaimana pesan dari Ki Hajar Dewantara bahwa sekolah adalah tempat persemaian dan tugas kita adalah membersamai benih-benih yang kita tanam sesuai dengan karakteristik yang ada pada diri mereka. 




Sumber : 

  1. Modul 1.4 LMS Pendidikan Guru Penggerak tentang Budaya Positif
  2. https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/profil-pelajar-pancasila

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)