Oh... Begini Rasanya Anak Masuk Sekolah Dasar! ~ ah... Santai aja kali, bund! Nggak usah lebay gitu! Helleeeehh..... Ya maklum sih ya, karena ini adalah pengalaman pertama kami dimana anak sulung kami masuk sekolah dasar.
Lah kan sama aja toh seperti masuk TK kemarin? Iya tapi vibes nya beda gitu, loh. Kami dengan basic guru SD, sedikit banyak paham lah yhaaaa bagaimana kondisi anak ketika memasuki fase peralihan dari taman kanak-kanak ke SD. Jadi semacam deg deg an juga sih menghadapi dramanya.
Dan drama itupun dimulai semenjak Intan masih memasuki semester genap di TK nya. Menyoal sekolah Intan, kami sempat debat mengingat karakter anaknya ini agak unik (menurut kacamata kami sebagai orang tuanya). Terkait masukan dari luar memang kami skip karena yhaaaaaa.... Cuma pada nyaranin doank tanpa pada bantu bayarin biaya pendidikannya. Dan akhirnya kami sepakat bahwa dalam memilih sekolah Intan itu tidak semata keputusan kami berdua saja. Melainkan juga melibatkan Intan, yang nantinya dialah yang menjalani masa 6 tahun di jenjang sekolah dasar.
Survei Sekolah Dulu, Bund!
Ya jangan dikira hompimpa memilih sekolah buat Intan. Seringnya saya mengajak dia muter-muter kota maupun pinggiran untuk melihat sekolah-sekolah yang ada di kota ini.
Satu per satu dan kadang ngajak papa pas jalan-jalan bareng. Dilihatin dan dikasih tau ini sekolah ini, itu sekolahnya si anu, ini sekolahnya mama dulu, ini sekolahnya papa dulu. Ya pokoknya anaknya diajak survey dulu lah.
Lalu, serentetan pertanyaan Intan juga kami jawab semampu kita. Bahkan dia sendiri sebenarnya agak worry juga sih, gimana nanti kalau sekolah di ini tapi temennya ngga asyik, gurunya ga baik hati. Overthinking kadang ini anak.
Mengenalkan Beberapa Alumni
The power of alumni itu mayan berpengaruh menurut saya. Jadi selain masukan yang kami berikan, pengalaman dari alumni juga dia terima.
Dia bisa bertanya sendiri ke Mbak Fida dulu sekolahnya dimana, bahkan pertanyaan konyol Intan nggak lepas dari "di sekolah Mbak Fida dulu ada kantin nggak?" Hahaha.
Setidaknya dengan mendapat cerita pengalaman dari yang sudah lulus bisa menjadi satu keyakinan dia memilih sekolah itu.
Hargai Keputusan Anak
Memang, kami memberikan opsi beberapa sekolah untuk dia pilih dengan alasan :
1. Akses antar jemput yang lebih mudah
2. Jumlah teman satu kelasnya supaya tidak terlalu banyak
3. Sekolah dasar negeri yang banyak diminati
Begitu Intan memutuskan pilihan sekolahnya, kami juga memberikan beberapa konsekuensi yang kemungkinan akan dia terima dengan pilihannya itu. Jadi tidak semata melonggarkan pilihan dia tapi tetap mengarahkan.
Pertimbangan Lainnya adalah Usia Intan
Lahir di bulan September membuat dia memang berada pada zona usia tanggung saat PPDB kemarin. Akan beda cerita jika Intan masuk di SD tempat saya mengajar, tetapi kami sepakat untuk tidak menyekolahkan anak di sekolah tempat kami mengajar.
Jadi sebelum menyekolahkan Intan, kami memang menghitung usia dia dengan target usia masuk SD adalah 7 tahun. Mengikuti anjuran dari kemendikbudristek juga lah ya bahwa usia minimal masuk SD adalah 7 tahun. Dengan patokan itulah, kami menyekolahkan Intan di jenjang TK pada usia 4 tahun lebih 9 bulan. Jadi dia menjalani masa TK cukup 2 tahun saja tanpa sekolah PAUD.
Kesiapan usia anak memang berpengaruh juga loh, bahkan sebelum mendaftar SD saya juga beberapa kali konsultasi ke guru TK nya dan meyakinkan apakah Intan nanti mampu jika di usia 6 tahun 9 bulan masuk SD. Karena bagaimanapun di sekolah, tetap harus meminta saran gurunya sih ya. Atau kami aja yang agak ribet. Hahaha.
"Saya melihat Intan mampu kok, mah! Jadi rasanya dia sudah bisa nanti masuk ke SD. Tinggal nanti lebih didampingi lagi dalam belajarnya." Seingat saya seperti itu pesan dari Bu Lenny ketika ambil rapor Intan lalu di TK.
Antusiasme Anak adalah Modal Penting Bagi Kami
"Mama... Aku besok sudah masuk SD ya?"
"Mama... Nanti bu guruku masih Bu Leny?"
"Pah... Nanti kalau aku SD, aku mau belajar silat ya!"
"Pah... Nanti Gween juga satu SD sama aku?"
Pertanyaan yang sering dia tanyakan menjelang pendaftaran SD. Padahal TK saja belum lulus 😌 tapi keponya sangat luuuuuaaarrrrrr biasaaaaaaa.
Kalau kata Mbah Kokonya, wajar jika anak sepenasaran itu dan menunjukkan adanya ketertarikan dengan jenjang sekolah yang baru. Mbah juga berpesan kalau jangan menakut-nakuti anak, nanti takutnya motivasi dan semangat anak jadi kendor.
Makanya, ketika dia sudah memutuskan dan kekeuh dengan pilihannya, sebagai orang tua ya kami mendukung. Tidak lupa tetap memberi rambu-rambu ke Intan agar dia belajar lebih bertanggung jawab.
Bahkan pekan kedua dia masuk sekolah nih, alhamdulillah nggak ada drama nangis nggak mau sekolah. Semua berjalan lancar meskipun di hari pertama masuk sekolah dia hanya didampingi papanya saja.
Dramanya adalah setiap membangunkan Intan itu butuh usaha dan managemen emosi yang harus tertata rapi. Jika tidak, perang dunia akan pecah di rumah ini. Hahaha.
Sampai pada akhirnya setiap kali jemput dia, dia mengatakan sekolah SD itu enak loh, mah! Dengan cerita lainnya dimana dia pernah dinakalin temennya padahal belum kenal, pisah sama sahabatnya Gween yang harus di kelas A sementara Intan di kelas B. Drama seragam beda sendiri lah. Bu gurunya yang baik dan nggak galak.
Yang saya terima adalah cerita menyenangkan setiap kali kami di perjalanan menuju ke rumah ibu. Aduan kenakalan teman sekelasnya masih bisa dia atasi dan tetep ya mama selalu pesen "kalau ada yang nakal dulu, lawan dan jangan takut lapor gurumu!". Eeh... Dia dengerin donk nasehat mamanya.
Yah... Beginilah yang sedang kami rasakan. Dag dig dug drama PPDB sudah berlalu dan sekarang tinggal mendampingi dia menikmati masa SD nya. Semoga selalu menyenangkan seperti anaknya, ya!
0 comments
Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)