Menjadi Lebih Gembira Setelah Menerima Semua Luka
"Salah sendiri luka batin kamu obok-obok!"
Begitulah kiranya saat saya bercerita kepada aalah seorang teman yang kebetulan memang jiwa terapisnya sangat melekat. Namun, membaca rangkaiana bab dalam buku Luka Performa Bahagia memang membuat saya harus mengorek luka batin, menyelesaikan layer demi layer kisah sedih ataupun trauma hingga bahagia yang ada. Serta melatih diri untuk bisa lebih menerima dan ya berujung pada lembar kehidupan baru yang lebih GEMBIRA.
Kata Kak Seto dalam webinar puncak parade Luka Performa Bahagia, GEMBIRA adalah kunci dimana kita bisa menyembuhkan luka batin masa kecil atau inner child. Ya, saya memilih untuk menuruti apa yang mas Adi Prayuda tuliskan dimana untuk pulih kamu harus mulih. Mulih ke dalam diri saya sendiri. Dan benar saja, saya masih sering kok berperang dengan pemikiran-pemikiran yang ada dikala saya berdiam diri.
Lalu,apa yang saya terima dari webinar malam itu membawa saya pada cerita yang sering bapak kisahkan. Bahwa saya adalah anak "mahal" dimana rupiah bapak dan ibu upayakan untuk bisa mendapatkan keturunan lagi. Dokter di kota Semarang pun juga bapak ibu datangi demi bisa memberikan kesuburan dalam kandungan ibu. Program hamil yang butuh biaya banyak namun terbantu karena anak dari Dokter Tomo (dokter kandungan ternama di Purwodadi) adalah murid bapak. Sungguh, kebaikan yang bapak tanam terbalas dengan nihilnya biaya periksa setiap ibu dan bapak datang ke klinik.
Hingga Tuhan anugerahkan saya datang dalam kehidupan bapak dan ibu juga mbak. Kisah dan kenakalan yang bapak ceritakan dengan berurai air mata. Adanya ingatan kerasnya didikan bapak dan ibu di masa saya bertumbuh. Dulu, aku membenci mereka (bapak dan ibu) namun kini aku merasa sangat bersyukur memiliki mereka.
Jika saya tahu itu adalah masa-masa kebersamaan terakhir dengan ibu, saya ingin menjadi anak yang lebih berbakti pada ibu. Jika ibu dulu pernah membuat saya nangis dengan cubitan di paha, justru saya jauh lebih menikmati dan bahagia membasuh kaki ibu setiap sore. Menyiapkan air rebusan daun jambu untuk membersihkan luka diabet ibu, mengguntingi kulit-kulit yang mengelupas, memangku kaki ibu sambil menasehati ibu untuk lebih disiplin minum obat dan mengoleskan salep hingga memastikan kaki ibu sudah bersih dan terobati dengan sempurna.
Penyesalan itu ada namun saya justru bergembira karena dengan memilih menerima luka, banyak berdoa kepada Tuhan nyatanya membuat kenangan di jelang perpisahan dengan ibu adalah kebersamaan yang sangat indah.
Sejalan dengan apa yang dituliskan Mas Adi pada bab 9 bahwa butuh keberanian untuk melepas inner child. Dan kini, saya sudah tak lagi takut melihat diri saya yang terikat di tiang rumah belakanh, tidak takut melihat saya yang disiram air kendi karena terlambat pulang, tidak takut lagi melihat saya dipukul saat jam belajar malam.
Bahwa adanya saya adalah keputusan secara sadar oleh bapak dan ibu. Mereka memilih berupaya agar ada saya di antara mereka, bahkan mereka juga sudah sangat berkorban dalam mendidik saya. Saya tidak lagi lari dan menyalahkan keadaan mengapa harus seperti ini. Karena untuk menjadi pribadi yang gembira itu bukan melulu dari masa lalu yang indah. Namun tempaan demi tempaan harus dilalui agar kita bisa lebih menemukan makna kita dalam diri.
0 comments
Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)