Pulang dan Duduk Bersama Luka

By Chela Ribut Firmawati - December 06, 2021

Pulang dan Duduk Bersama LukaKesembuhan ternyata baru di tahap perkiraan saja. Bukan suatu keadaan batin yang menyeluruh. Kemarahan, kekecewaan, kesedihan hanya beristirahat sejenak di peraduannya. Dan bangkit lagi ketika pemicu yang serupa muncul (lagi).


inner child, pulih, luka batin,



Mendapati kalimat bercetak tebal dengan font yang lebih besar di bab 6 buku Luka Performa Bahagia, membuat saya kembali pada rentetan peristiwa di tahun 2018 menuju 2019 lalu. Adalah saat dimana saya merasa dunia sangat kejam terhadap saya, Tuhan jahat sehingga saya mutung untuk menyembahNya. Saya marah dengan ketetapan-ketetapanNya dan setiap saya melakukan kewajiban sebagai seorang muslim, ya asal saja, ndak khusyuk sama sekali bahkan saat berdoa saya selalu protes.

 

“Tuhan, kenapa kamu memberi saya hidup yang seperti ini? Kok jahat sih?? Saya maunya bebas, bahagia dan nggak nelongso begini terus!! Tuhan maunya apa?”

 

Berawal dari kegagalan meraih PNS dimana impian dan harapan orang tua (tinggalan masa orde baru) adalah menjadi PNS itu artinya anak sangat berhasil. Dan ternyata kekalahan dengan rival dimana selisih nilai 0,04 harus saya telan dan bertengger di posisi kedua. Itu artinya saya gagal. Disaat kegagalan itulah saya merasa kok diterima di keluarga saja enggak. Dipeluk dan dibilang “gapapa, kamu sudah berusaha sampai di titik ini” saja juga enggak. Saya sudah gagal, saya juga sangat kecewa. Tetapi yang saya dapatkan justru saya dipaido oleh orang-orang terdekat.


Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hmm... melas banget!

 

Dan kegagalan itu juga memantik api dalam ingatan masa kecil dimana label anak bandel, durhaka dan tidak bisa membanggakan orang tua kembali digaungkan dan menjadi sasaran empuk untuk menyerang saya dan membuat saya merasa semakin diblesek-blesekin ke dalam lumpur yang penuh dengan kata “saya adalah anak yang tidak berguna”.

 

Tidak usah dibayangkan, namun menjadi anak yang tidak di terima di keluarga terlebih saat saya sendiri merasa sedang gagal, itu sakitnya sangat luar biasa. Sehingga membuat saya berperang dengan diri saya sendiri dan muncul keinginan untuk mengelak apa yang sedang terjadi dalam diri. Yang hasilnya, emosi negative lebih dominan muncul, saya mengharapkan DIBAHAGIAKAN oleh suami dan saya berjalan jauh “ke luar” dalam diri saya untuk mencari kebahagiaan.

 

Yang kalau itu fana… karena disaat saya kembali sendirian sejujurnya saya merasakan sepi, sakit dan useless. Meski saya menghibur diri dengan menuliskan caption berbahagia, nyatanya saya tidak benar-benar bahagia. Hanya sementara saja, lalu kembali dengan kesepian, kesedihan, kemarahan terlebih saat ingatan-ingatan luka itu tersulut kembali.

 

Lelah… saya benar-benar pada titik mentok dan lelah. Kemudian ingin menemukan bahagia yang sesungguhnya. Adalah bahagia yang muncul dalam diri saya sendiri. Dan mas Adi Prayuda menuliskan “Untuk pulih, kita perlu mulih (pulang)”. Lalu, saya harus pulang kemana? 


Ya.. kedalam diri saya sendiri. Meski sudah berlalu peristiwanya namun perasaannya tetap ada. Meski masa depan juga belum tahu seperti apa, saya sudah ketakutan memikirkannya. Entahlah… ada perasaan yang embuh kala itu dan saya memilih untuk menepi, menarik diri dari sosialisasi di dunia nyata, dan berkecamuk dengan banyak pertanyaan dan emosi yang muncul.

 

Pilihan saya adalah menikmati luka yang ada. Ok saya gagal, OK saya diremehin orang-orang terdekat, OK saya masih dikatakan anak durhaka. Saya berusaha menerima itu meski harus dengan menangis. Saya menyendiri untuk menikmati kesedihan itu, saya memilih untuk menikmati perasaan tidak diterima itu, dan saya menikmati untuk menjadi anak yang masih belum bisa membanggkan orang tua. To be honest, bertemu dengan Ruang Pulih, bermain dengan mandala dan art therapy bersama mbak Intan Maria Lie adalah bukan satu kebetulan. Semesta sudah merencanakannya... thanks God. 

 

Meski pada kenyataannya, ibu tetap menerima saya dengan tangan terbuka. Namun, ada penolakan dalam diri dengan apa yang terjadi di masa lalu dengan ibu. Dan sayangnya saya menyadari saat menjelang hari-hari terakhir sebelum kepergian ibu. Itulah yang membuat saya sangat kehilangan dan kembali dalam kondisi tidak stabil.

 

Saya belum sampai pada tahap memaafkan, namun saya memulai untuk menerimanya. Menerima peristiwanya, menerima perasaannya dan saya mencoba untuk menerima perilaku yang diberikan kepada saya tanpa harus membenci orangnya. Kenyataannya, butuh usaha lebih dalam memisahkan antara perasaan yang muncul dan orangnya. Mau bagaimanapun mereka adalah orang-orang terdekat saya dan pastinya memiliki luka masa lalu juga.

 

Menerima, lalui mengenggam perasaan yang ada dan mengakuinya, ada sensasi yang muncul dimana saya merasa lebih enteng. Pertengahan 2019 menjadi satu titik dimana saya merasa dunia seolah kembali bersahabat dengan saya secara perlahan. Meskipun beberapa kali saya mengakui masih belum stabil bahkan hingga saat ini, namun dengan lebih menerima luka dan mencitai diri saya yang terluka ternyata saya merasa tubuh lebih ringan.

 

Memaafkan memang sulit. Saya memang memaafkan namun di beberapa peristiwa saya belum sepenuhnya memaafkan. Bisa saja saya meyakini sudah memaafkan semuanya, namun tubuh tidak akan bisa berbohong apakah saya sudah memafkan atau merasa memaafkan. Hanya saja, saat ibu berpulang, saat saya memeluk ibu selepas subuh dalam keadaan tubuh ibu sudah dingin dan pucat. Ada air mata menetes dan saya berucap “saya sudah memaafkan ibu jauh sebelum ini….”. Meskipun sebenarnya berat harus melepas ibu, namun saya melepas ibu tanpa rasa dendam, marah ataupun kecewa. Saya melepas ibu kerelaan yang memang harus seperti ini kenyataannya.

 

Nyatanya dalam menuju bahagia dan melihat ke dalam diri kita, ada pahlawan dalam diri kita sendiri. Adalah sosok pahlawan yang dapat memilih menjadi “pelaku” ataupun “korban” dalam proses menyembuhkan luka batin. Dalam perjalanan menyembuhkan luka ini adalah tanggung jawab kita sepenuhnya. Adanya trauma memang bukan sepenuhnya salah kita. Bahkan kenangan masa kecil baik itu kenangan menyakitkan ataupun menyenangkan memang tidak bisa kita hindari.

 

Orang tualah yang membentuk saya seperti saat ini, bertumbuh dengan kasih sayang juga bahasa cinta oldschool yang tidak saya pungkiri bahwa itu adalah warisan dari mbah-mbah saya. Namun, saat belajar mengolah emosi yang muncul, rasanya bukan menjadi penghalang untuk kita dapat lebih bahagia di masa saat ini. 


Tidak ada yang salah dengan pengasuhan di masa lalu, namun dengan mengambil peran sebagai pelaku tentunya di masa kini saya belajar bagaimana untuk lebih menerima jati diri dan mengambil tanggung jawab untuk reparenting inner child. Ada PR yang jauh lebih membutuhkan saya dalam kondisi bahagia dimana harus mengasuh dua bidadari kecil yang saya miliki.

 

“So, itu semua sudah berlalu dan cukuplah kamu merasakan penderitaan dan kesedihan itu, Chela… So, be happy!”

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)