Pulang dan Duduk Bersama Luka ~ Kesembuhan ternyata
baru di tahap perkiraan saja. Bukan suatu keadaan batin yang menyeluruh. Kemarahan,
kekecewaan, kesedihan hanya beristirahat sejenak di peraduannya. Dan bangkit
lagi ketika pemicu yang serupa muncul (lagi).
Mendapati
kalimat bercetak tebal dengan font yang lebih besar di bab 6 buku Luka Performa
Bahagia, membuat saya kembali pada rentetan peristiwa di tahun 2018 menuju 2019
lalu. Adalah saat dimana saya merasa dunia sangat kejam terhadap saya, Tuhan
jahat sehingga saya mutung untuk menyembahNya. Saya marah dengan
ketetapan-ketetapanNya dan setiap saya melakukan kewajiban sebagai seorang
muslim, ya asal saja, ndak khusyuk sama sekali bahkan saat berdoa saya selalu
protes.
“Tuhan,
kenapa kamu memberi saya hidup yang seperti ini? Kok jahat sih?? Saya maunya
bebas, bahagia dan nggak nelongso begini terus!! Tuhan maunya apa?”
Berawal
dari kegagalan meraih PNS dimana impian dan harapan orang tua (tinggalan masa
orde baru) adalah menjadi PNS itu artinya anak sangat berhasil. Dan ternyata
kekalahan dengan rival dimana selisih nilai 0,04 harus saya telan dan bertengger di
posisi kedua. Itu artinya saya gagal. Disaat kegagalan itulah saya merasa kok
diterima di keluarga saja enggak. Dipeluk dan dibilang “gapapa, kamu sudah
berusaha sampai di titik ini” saja juga enggak. Saya sudah gagal, saya juga
sangat kecewa. Tetapi yang saya dapatkan justru saya dipaido oleh orang-orang
terdekat.
Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hmm... melas banget!
Dan
kegagalan itu juga memantik api dalam ingatan masa kecil dimana label anak
bandel, durhaka dan tidak bisa membanggakan orang tua kembali digaungkan dan
menjadi sasaran empuk untuk menyerang saya dan membuat saya merasa semakin
diblesek-blesekin ke dalam lumpur yang penuh dengan kata “saya adalah anak yang
tidak berguna”.
Tidak usah
dibayangkan, namun menjadi anak yang tidak di terima di keluarga terlebih saat
saya sendiri merasa sedang gagal, itu sakitnya sangat luar biasa. Sehingga
membuat saya berperang dengan diri saya sendiri dan muncul keinginan untuk
mengelak apa yang sedang terjadi dalam diri. Yang hasilnya, emosi negative lebih
dominan muncul, saya mengharapkan DIBAHAGIAKAN oleh suami dan saya berjalan
jauh “ke luar” dalam diri saya untuk mencari kebahagiaan.
Yang kalau
itu fana… karena disaat saya kembali sendirian sejujurnya saya merasakan sepi,
sakit dan useless. Meski saya menghibur diri dengan menuliskan caption
berbahagia, nyatanya saya tidak benar-benar bahagia. Hanya sementara saja, lalu
kembali dengan kesepian, kesedihan, kemarahan terlebih saat ingatan-ingatan
luka itu tersulut kembali.
Lelah… saya benar-benar pada titik mentok dan lelah. Kemudian ingin menemukan bahagia yang sesungguhnya. Adalah bahagia yang muncul dalam diri saya sendiri. Dan mas Adi Prayuda menuliskan “Untuk pulih, kita perlu mulih (pulang)”. Lalu, saya harus pulang kemana?
Ya.. kedalam diri saya sendiri. Meski sudah berlalu peristiwanya
namun perasaannya tetap ada. Meski masa depan juga belum tahu seperti apa, saya
sudah ketakutan memikirkannya. Entahlah… ada perasaan yang embuh kala itu dan
saya memilih untuk menepi, menarik diri dari sosialisasi di dunia nyata, dan
berkecamuk dengan banyak pertanyaan dan emosi yang muncul.
Pilihan
saya adalah menikmati luka yang ada. Ok saya gagal, OK saya diremehin orang-orang
terdekat, OK saya masih dikatakan anak durhaka. Saya berusaha menerima itu
meski harus dengan menangis. Saya menyendiri untuk menikmati kesedihan itu,
saya memilih untuk menikmati perasaan tidak diterima itu, dan saya menikmati
untuk menjadi anak yang masih belum bisa membanggkan orang tua. To be honest, bertemu dengan Ruang Pulih, bermain dengan mandala dan art therapy bersama mbak Intan Maria Lie adalah bukan satu kebetulan. Semesta sudah merencanakannya... thanks God.
Meski pada
kenyataannya, ibu tetap menerima saya dengan tangan terbuka. Namun, ada
penolakan dalam diri dengan apa yang terjadi di masa lalu dengan ibu. Dan sayangnya saya menyadari saat menjelang hari-hari terakhir sebelum kepergian ibu. Itulah yang membuat saya sangat kehilangan dan kembali dalam kondisi tidak stabil.
Saya belum
sampai pada tahap memaafkan, namun saya memulai untuk menerimanya. Menerima
peristiwanya, menerima perasaannya dan saya mencoba untuk menerima perilaku
yang diberikan kepada saya tanpa harus membenci orangnya. Kenyataannya, butuh
usaha lebih dalam memisahkan antara perasaan yang muncul dan orangnya. Mau
bagaimanapun mereka adalah orang-orang terdekat saya dan pastinya memiliki luka
masa lalu juga.
Menerima,
lalui mengenggam perasaan yang ada dan mengakuinya, ada sensasi yang muncul dimana
saya merasa lebih enteng. Pertengahan 2019 menjadi satu titik dimana saya
merasa dunia seolah kembali bersahabat dengan saya secara perlahan. Meskipun
beberapa kali saya mengakui masih belum stabil bahkan hingga saat ini, namun
dengan lebih menerima luka dan mencitai diri saya yang terluka ternyata saya
merasa tubuh lebih ringan.
Memaafkan
memang sulit. Saya memang memaafkan namun di beberapa peristiwa saya belum
sepenuhnya memaafkan. Bisa saja saya meyakini sudah memaafkan semuanya, namun
tubuh tidak akan bisa berbohong apakah saya sudah memafkan atau merasa
memaafkan. Hanya saja, saat ibu berpulang, saat saya memeluk ibu selepas subuh
dalam keadaan tubuh ibu sudah dingin dan pucat. Ada air mata menetes dan saya
berucap “saya sudah memaafkan ibu jauh sebelum ini….”. Meskipun sebenarnya
berat harus melepas ibu, namun saya melepas ibu tanpa rasa dendam, marah
ataupun kecewa. Saya melepas ibu kerelaan yang memang harus seperti ini
kenyataannya.
Nyatanya
dalam menuju bahagia dan melihat ke dalam diri kita, ada pahlawan dalam diri
kita sendiri. Adalah sosok pahlawan yang dapat memilih menjadi “pelaku” ataupun
“korban” dalam proses menyembuhkan luka batin. Dalam perjalanan menyembuhkan
luka ini adalah tanggung jawab kita sepenuhnya. Adanya trauma memang bukan
sepenuhnya salah kita. Bahkan kenangan masa kecil baik itu kenangan menyakitkan
ataupun menyenangkan memang tidak bisa kita hindari.
Orang
tualah yang membentuk saya seperti saat ini, bertumbuh dengan kasih sayang juga
bahasa cinta oldschool yang tidak saya pungkiri bahwa itu adalah warisan dari
mbah-mbah saya. Namun, saat belajar mengolah emosi yang muncul, rasanya bukan
menjadi penghalang untuk kita dapat lebih bahagia di masa saat ini.
Tidak ada
yang salah dengan pengasuhan di masa lalu, namun dengan mengambil peran sebagai
pelaku tentunya di masa kini saya belajar bagaimana untuk lebih menerima jati
diri dan mengambil tanggung jawab untuk reparenting inner child. Ada PR yang
jauh lebih membutuhkan saya dalam kondisi bahagia dimana harus mengasuh dua
bidadari kecil yang saya miliki.
“So, itu
semua sudah berlalu dan cukuplah kamu merasakan penderitaan dan kesedihan itu,
Chela… So, be happy!”
0 comments
Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)