Memberdayakan Inner Child Untuk Sukses di Masa Depan
Memberdayakan Inner Child Untuk Sukses di Masa Depan ~ Terus berproses untuk menyembuhkan luka batin masa kecil memang butuh usaha yang sangat luar biasa. Jujur, saya beberapa kali masih merasa kesulitan mengenali dan mengatur emosi yang muncul. Saat ingatan kembali ke masa kecil dimana saya bersepeda bersama ibu sepulang dari sekolah sambil menyanyi bersama, ada rasa bahagia yang muncul. Namun kadang saat suami (seolah) mengabaikan keberadaan saya, tiba-tiba saya menangis sesenggukan. Seolah melihat seorang Chela kecil yang sedang menangis namun uluran tangan bahkan pelukan ibu atau bapak pun tidak ada.
Merasa terabaikan adalah satu hal yang sangat membuat saya tidak nyaman. Papa sangat menyadari akan hal itu namun saat saya tiba-tiba merengek lalu menangis, dia akan bingung bagaimana menenangkan kondisi saya. Lorong waktu ingatan saya kembali disaat saya menangis di depan lemari malam itu. Rengekan anak kecil meminta dibelikan bubur kacang hijau tidak dihiraukan oleh ibu ataupun bapak. Entahlah... saya merasa mereka tidak sepenuh hati menyayangi anak bungsunya ini.
Namun, saya tidak memungkiri bahwa ada kenangan-kenangan indah yang bapak dan ibu berikan di masa kecil. Saat kami pergi bertiga mengunjungi pasar malam di Alun-Alun Kota Purwodadi. Naik kereta kelinci degan tiket dua ribu rupiah saat itu. Pulangnya, ibu membelikan boneka kelinci berwarna oranye dan menjadi teman bermain saat itu. Well, banyak kenangan masa kecil yang membahagiakan diri namun kenangan yang menyakitkan justru sangat lebih mudah untuk diingat.
Memberdayakan Inner Child Untuk Sukses di Masa Depan
Parade III Inner Child Healing kali ini bersama dengan Pak Adi W. Gunawan dan Pak Asep Haerul Gani. Bersama dengan Pak Adi, saya ditunjukkan sebuah gambaran mengenai inner child yang mana kita tentu pernah mengalami ketakutan-ketakutan konyol seperti takut di suntik dan diri kita meresponnya dengan menangis. Ya, sebagai orang yang takut di suntik saya juga merespon seperti itu. Dan diri yang menangis itu bukanlah diri kita yang dewasa melainkan anak kecil dalam diri kita.
Baca :
MENGASUH INNER CHILD BERSAMA RUANG PULIH
BANGKIT DARI LUKA BATIN UNTUK MENUJU PERFORMA YANG LEBIH BAIK? WHY NOT!
Sebagai manusia, kita memiliki banyak sisi dalam diri yang dinamakan ego state. Ada 3 bagian dalam diri kita yang bisa kita kenali yaitu sisi yang mengajak kebaikan, sisi yang mengajak keburukan, dan sisi pengamat yang menyaksikan pertentangan di antara keduanya lalu mengambil keputusan untuk memilih yang mana. Pernah berada dalam kondisi seperti itu? oh jelas pernah!
Nah, Pak Adi mengembangkan ada 15 bagian dalam diri yang disebut sebagai ego personality salah satunya adalah inner child. Pada saat tertentu, bagian-bagian dalam diri kita inilah yang mewakili berbagai macam pikiran dalam benak kita. Inner chlid yang terluka akan terus mengganggu kita jika tidak disembuhkan. Keberadaannya butuh kita akui dan beri rasa aman. Jika kita tidak memenuhi kebutuhan dari inner child itu, dia akan terus minta diperhatikan. Uniknya, inner child bisa tinggal di salah satu bagian tubuh dan menyebabkan rasa sakit.
Selain jarum suntik, saya memiliki pergolakan ketika saya tidak diperhatikan atau diabaikan. Ada respon menangis hingga merengek bahkan marah seperti yang saya lakukan saat bapak dan ibu tidak memberikan bubur kacang ijo saat masih kecil dulu. Jeleknya adalah anak kecil ini sering muncul dan sangat mengganggu suami karena merasa saya terlalu kekanak-kanakan. Menyadari itu terkadang membuat sebuah penyesalan karena akan berujung konflik dengan suami, namun anak kecil dalam diri saya inilah yang memang butuh untuk dipeluk dan diasuh. Tapi, susah!
Tanda dari seseorang sembuh dengan luka batin masa kecil adalah saat teringat trauma masa kecil itu kita tidak merasakan emosi yang tidak menyenangkan. Iya, saya sadar itu butuh usaha. Namun, berproses untuk menerima itu semua memang menjadi permulaan bahwa mengasuh inner child akan memberikan dampak bagus untuk pulih hingga berdaya di masa depan. Menerima sebelum memaafkan, memaafkan bukan berarti melupakan. Kita asuh dan rawat agar anak kecil dalam diri kita ini merasa nyaman sehingga dia tidak mengganggu lagi.
Psikodinamika Innerchild Dalam Pernikahan
Awalnya saya bingung mengapa dalam Parade III ini tentang memberdayakan inner child dilanjutkan dengan psikodinamika inner child dalam pernikahan. Bersama dengan Pak Asep Haerul Gani, saya merasa tertampar bolak-balik dengan apa yang beliau sampaikan. Konflik dengan suami hampir setiap hari mengisi rumah tangga saya. Tak jarang anak sulung saya melihat kami berdebat, menangis satu sama lain dan luapan emosi yang sering tidak bisa saya kendalikan. Begitu juga suami yang beberapa kali saya mendapati emosi itu diluapkan ke Intan, anak sulung kami.
Hal-hal sepele diantara saya dan suami sering memicu pertengkaran. Entah saya yang merasa diabaikan, ataupun dia yang merasa saya marahin padahal sebenarnya tidak. Secara tidak saya sadari, inner child yang terluka dan belum sembuh inilah yang memicu konflik diantara kami. Ada saat saya menuntut suami untuk sepenuhnya memperhatikan saya hingga perasaan takut diabaikan ini hilang. Ini bukan diri saya, melainkan Chela kecil yang memang takut diabaikan.
"Mama kalau sama temen-temennya bisa terlihat lebih mandiri dan nggak suka merengek-rengek. Tapi kalau sama papa, kenapa semua emosi mama luapkan?"
Seperti itulah komentar suami, dan dari Pak Asep saya baru tahu bahwa kita sebenarnya manusia memakai banyak topeng. Memakai topeng ini dikandung maksud bagaimana cara kita berperilaku. Saat bersama orang tua, kita memakai topeng anak. Saat bersama istri, kita memakai topeng suami. Saat bersama suami, kita memakai topeng istri. Saat bersama anak kita memakai topeng orang tua. Di kantor kita memakai topeng atasan atau bawahan. Lalu saat sendirian kita memakai topeng diri sendiri.
Tetapi jangan sampai kita salah memakai topeng. Nah, ini yang saya temukan kenapa sering konflik dengan suami. Karena saya memakai topeng seorang anak sementara saya sedang bersama suami. Akan sangat mudah memicu emosi jika saat topeng anak itu mendapati sebuah kejadian yang tidak menyenangkan atau trauma sehingga akan berujung pada ketakutan, kemarahan hingga menangis tersedu-sedu.
Ada trauma dalam diri saya, begitu juga dengan suami yang saya meyakini ada trauma masa kecil namun masih enggan untuk dibagikan kepada saya. Sejujurnya lelah berkonflik hanya karena hal yang sepele. Itulah mengapa saya berupaya untuk merangkul anak kecil dan luka batin itu sehingga saya tidak mengalami pertengkaran internal yang dapat berimbas ke hubungan dengan suami.
Gongnya dari pemaparan Pak Asep terkait Psikodinamika Inner Child dalam pernikahan adalah mengenali diri dan mengenali pasangan kita. Mengenali ego state diri dan ego state pasangan. Dengan begitu kita bisa memaklumi perasaan yang sedang pasangan kita rasakan. Serta yang paling utama adalah mengingat tujuan kita menikah sehingga kita tidak mudah goyah dalam komitmen pernikahan. Cintai diri dan pasangan kita dan bersama untuk terus berproses.
Well, menulis ini dan mengendap lama di draft memang butuh kondisi emosi yang stabil. Karena selain mengulang materi webinar, berdamai dengan pergolakan batin dan merangkul emosi anak kecil yang muncul bersama dengan cerita kenangan masa kecil itu butuh usaha. So, kita bertemu di parade keempat bersama Ruang Pulih ya.
0 comments
Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)