Mengasuh Inner Child Bersama Ruang Pulih

By Chela Ribut Firmawati - August 28, 2021

 

Saya sedang menikmati kesedihan dan kehilangan. Kehilangan yang benar-benar terasa sangat menyakitkan. Ibu berpulang keharibaan ilahi setelah berjuang selama kurang lebih 1 bulan di rumah sakit. Tetapi di hari ketiga ibu koma, ibu hadir dalam mimpiku dan mengatakan bahwa beliau sehat, sembuh dan sudah tidak sakit lagi. Sungguh, scenario Tuhan yang digariskan kepada saya memang sangat menyakitkan. Namun, ini adalah yang terbaik bagi ibu.


Menangis, setiap malam saya selalu menangis meski sekuat tenaga saya berusaha tegar di depan mbak, bapak juga anak-anak. Namun, saya tidak bisa mengontrol rasa yang ada dalam diri saya sehingga suami sering menjadi korban. Gelisah, khawatir, emosi, sensitive semuanya ada dan saya melampiaskan semuanya kepada suami. Karena saya masih belum menerima atas kepergian ibu.


Semenjak kecil hubungan saya dan ibu memang bisa dikatakan sering berkonflik. Cap anak bandel melekat dalam diri saya bahkan label itu menjadi sasaran bagi saudara untuk menjadikan saya objek bully bahkan sasaran kesalahan. Saat ibu sakit, sayalah yang disalahkan. Pun setelah menikah, sayalah yang ketiban sampur untuk tetap tinggal bersama bapak dan ibu. Tradisi Jawa yang mengharuskan anak ragil ngopeni orang tua hingga akhir hayat. Butuh perjuangan untuk menerima keputusan itu hingga pada akhirnya saya mulai bisa menerimanya di tahun ketiga pernikahan.


Yang terpikirkan adalah saya ingin bahagia. Hidup dengan keluarga kecil juga melaksanakan bakti kepada orang tua. Alhamdulillah, semenjak 2019 lalu saya mulai bisa menerima semua rasa yang ada. Mungkin saya merasa sudah bisa menerima atau entah hanya berkamuflase agar bisa menunjukkan bakti kepada orang tua terutama ibu. Saya hanya ingin bahagia dan menjalani hari-hari dengan langkah yang ringan. Nyatanya, saya tumbuh bersama dengan luka dari masa kecil yang sangat menyakitkan. Nyatanya, saya terkadang memperlakukan anak saya seperti dulu bapak dan ibu mendidik saya. Kok polanya seperti  berulang?


"dulu, saya pernah menggerutu bahwa saya menyesal dilahirkan oleh ibu dan tidak menyukai dibesarkan oleh bapak dan ibu. Namun, semenjak ibu pergi, saya merasa sangat bangga menjadi anak ibu dengan segala pengasuhannya."


Mengenali Inner Child, Menemukan Jati Diri



Saya tumbuh dewasa bersama dengan luka inner child. Tidak dipungkiri bahwa setiap orang pasti memiliki inner child. Takdir mempertemukan saya lagi dengan Mbak Intan Maria Lie dalam parade Mengenali Inner Child Menemukan Jati Diri. Bersama dalam buku Luka Performa Bahagia yang beliau tulis bersama dengan mas Adi Prayuda, seakan saya dibawa untuk bisa lebih mengenali diri saya bersama dengan inner child yang harus saya asuh. Dalam kondisi kehampaan tanpa sosok ibu saat inilah, memori masa kecil seperti menari-nari di ingatan, kebersamaan bersama ibu seolah bermain di depan mata, bahkan luka-luka pengasuhan itu kembali menganga. Antara bahagia namun juga sedih, yang bisa saya lakukan adalah menangis. Berkali-kali saya harus berhenti untuk menuliskan postingan ini karena dada terasa sesak, penuh dan ada ledakan emosi yang saya rasakan.

 

Tak apa, Mbak Intan mengatakan saya harus menerima itu semua. Bahkan penjelasan Dokter Rai dalam sesi webinar pertama yang diadakan tanggal 15 Agustus 2021 lalu mengatakan, menjaga kesehatan mental itu sangat penting. Kita harus tahu kemampuan dan keterbatasan diri, mampu bekerja secara produktif dan menikmati pekerjaan itu, bisa memanajemen stres, serta mampu berkontribusi terhadap sekitarnya. Luka batin di masa kecil akan terekam kuat dalam memori batin. Seiring usia, memori-memori itu akan selalu menayangkan ulang kejadian-kejadian di masa lalu, sehingga saat dewasa pun akan memberi dampak mengalami sakit mental serta fisik tertentu.

 

Berdamai dan mengasuh inner child adalah salah satu jalan yang bisa dilakukan agar saya dapat memulihkan kesehatan mental ini. Saya sempat berfikir ketika dapat berdamai dengan satu luka batin, maka akan selesai pula pergolakan yang terjadi dalam diri. Ternyata saya salah, luka batin inner child seolah seperti lapisan bawang merah, berlapis. Bagaimana pilihan kita untuk menghadapi kenangan di masa lalu itu? Dalam sesi mas Adji Santosoputra, insight yang saya tangkap adalah agar kita dapat membangun kesadaran diri serta mengambil tanggung jawab untuk mengasuh kembali innerchild kita dan berdamai dengan masa lalu.

 

Dalam menyimak webinar pun saya butuh beberapa waktu untuk mencerna setiap kata yang disampaikan oleh para narasumber. Karena saya tidak ingin luka batin inner child yang ada dalam diri saya menjadi pengganggu dalam pengasuhan anak-anak saya. Saya ingin anak saya tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia, itulah mengapa saya harus bisa mengasuh diri bersama inner child ini agar lebih bahagia. Juga hubungan dengan suami yang selama ini sering mengalami konflik.


Bersyukur sekali saya bersama Ruang Pulih, buku Luka Performa Bahagia, Mbak Wid, dan teman-teman lainnya sedang berjuang untuk mengasuh inner child. Meski berat dan ingin menyerah, namun saya ingin bahagia dan berdamai dengan luka. Semesta seolah paham betul, ini yang saya butuhkan.


Nyatanya bekas sabetan kayu di paha kiri itu menghilang, nyatanya memar karena cubitan di lengan kanan juga sudah menghilang. Nyatanya label anak durhaka ini masih menempel sampai detik ini.  Luka inner child itu ada dan nyata dalam diri saya, tetapi yang harus saya perhatikan dan lakukan adalah kondisi sekarang dan mempersiapkan kedepan supaya bisa lebih bijak. Saya sedang berproses, doakan saya untuk bisa menerima luka batin masa lalu ya. Doakan saya juga semoga bisa lebih legowo dalam menerima takdir Tuhan atas kepergian ibu.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)