Zonasi dan Betapa Banyak Pihak yang Kecewa ~ Iya termasuk saya. Belakangan ini topik pembicaraan di berbagai kalangan adalah tentang zonasi. Masa yang sedang dialami oleh para orang tua murid adalah masa menyekolahkan anak di jenjang yang sesuai dengan tingkatan anak. Baik SD, SMP maupun SMA. Jika menyasar sekolah negeri, tentu zonasi menjadi momok tersendiri bagi para orang tua. Terlebih bagi mereka yang baru pertama kali merasakan sistem zonasi.
Simak dulu Nawa Cita dari Bapak Jokowi,, tapi jangan nyariin Jan Ethes,, lagi ikut bapak Gibrang Uaha... 😆😆😆😆
Sebenarnya wara-wiri pengalaman PPDB zonasi sudah saya baca sejak tahun kemarin. Hanya saja di Purwodadi, untuk memasuki jenjang SMP Negeri baru diterapkan tahun ini. Entah saya yang kurang membekali diri dengan perkembangan info atau memang sosialisasi ke orang tua dan sekolah juga kurang. Sehingga ketika orang tua datang meminta persyaratan masuk SMP juga sempat ada kesalahpahaman.
baca : Hebohnya PPDB Online dan Zonasi
Terlebih, saya sangat menyayangkan sekali bahwa PPDB SMP Negeri tahun 2019 di Purwodadi ini MURNI ZONASI. Itu artinya nilai Ujian Nasional sama sekali tidak diperhitungkan untuk di terima di sekolah tujuan.
Coba kita tengok sistem penerimaan siswa beberapa tahun lalu. Saya menjumpai beberapa sistem yang berbeda setiap tahunnya.
1. Menggunakan nilai NEM (Zaman masih menggunakan EBTANAS)
Saya menyasar SMP tujuan saya dulu dengan bermodal nilai NEM. Ada batasan nilai minimal yang ditetapkan sekolah tujuan sehingga orang tua dan siswa bisa leluasa memilih dan menyesuaikan apakah NEM anak bisa diterima.
Keuntungan sistem ini adalah bisa mendapatkan nilai tambahan jika memiliki prestasi di luar nilai hasil EBTANAS. Misal dari piagam perlombaan sesuai dengan bakat minat.
2. Sistem rayonisasi
Sistem ini masih sama menggunakan nilai ujian atau NEM sebagai acuan masuk ke sekolah yang diinginkan. Meskipun tempat tinggal jauh dari lokasi sekolah, jika sekolah ada kuota rayonisasi dan bisa masuk, maka siswa luar daerah bisa bersekolah di sekolah tersebut.
3. Sistem seleksi masuk sekolah
Sistem ini juga menuai kontroversi dimana sudah ada nilai EBTANAS/ UN/ USBN. Banyak kalangan mengatakan bahwa siswa harus terforsir belajar untuk menghadapi UN ditambah harus mempersiapkan untuk selesksi masuk sekolah tujuan. Meskipun sistem ini masih menggunakan nilai UN sebagai pertimbangan seorang siswa diterima atau tidak, akan tetapi tetap saja siswa harus mempersiapkan diri untuk ujian berkali-kali.
Simak dulu Nawa Cita dari Bapak Jokowi,, tapi jangan nyariin Jan Ethes,, lagi ikut bapak Gibrang Uaha... 😆😆😆😆
Sebenarnya wara-wiri pengalaman PPDB zonasi sudah saya baca sejak tahun kemarin. Hanya saja di Purwodadi, untuk memasuki jenjang SMP Negeri baru diterapkan tahun ini. Entah saya yang kurang membekali diri dengan perkembangan info atau memang sosialisasi ke orang tua dan sekolah juga kurang. Sehingga ketika orang tua datang meminta persyaratan masuk SMP juga sempat ada kesalahpahaman.
baca : Hebohnya PPDB Online dan Zonasi
Terlebih, saya sangat menyayangkan sekali bahwa PPDB SMP Negeri tahun 2019 di Purwodadi ini MURNI ZONASI. Itu artinya nilai Ujian Nasional sama sekali tidak diperhitungkan untuk di terima di sekolah tujuan.
Coba kita tengok sistem penerimaan siswa beberapa tahun lalu. Saya menjumpai beberapa sistem yang berbeda setiap tahunnya.
1. Menggunakan nilai NEM (Zaman masih menggunakan EBTANAS)
Saya menyasar SMP tujuan saya dulu dengan bermodal nilai NEM. Ada batasan nilai minimal yang ditetapkan sekolah tujuan sehingga orang tua dan siswa bisa leluasa memilih dan menyesuaikan apakah NEM anak bisa diterima.
Keuntungan sistem ini adalah bisa mendapatkan nilai tambahan jika memiliki prestasi di luar nilai hasil EBTANAS. Misal dari piagam perlombaan sesuai dengan bakat minat.
2. Sistem rayonisasi
Sistem ini masih sama menggunakan nilai ujian atau NEM sebagai acuan masuk ke sekolah yang diinginkan. Meskipun tempat tinggal jauh dari lokasi sekolah, jika sekolah ada kuota rayonisasi dan bisa masuk, maka siswa luar daerah bisa bersekolah di sekolah tersebut.
3. Sistem seleksi masuk sekolah
Sistem ini juga menuai kontroversi dimana sudah ada nilai EBTANAS/ UN/ USBN. Banyak kalangan mengatakan bahwa siswa harus terforsir belajar untuk menghadapi UN ditambah harus mempersiapkan untuk selesksi masuk sekolah tujuan. Meskipun sistem ini masih menggunakan nilai UN sebagai pertimbangan seorang siswa diterima atau tidak, akan tetapi tetap saja siswa harus mempersiapkan diri untuk ujian berkali-kali.
Ketiga sistem penerimaan siswa diatas memang lebih memperlihatkan kemampuan anak secara akademis. Mau tidak mau akan timbul blok sekolah favorit dan sekolah biasa saja. Karena kembali lagi, orang tua dan siswa jelas memiliki HAK untuk memilih sekolah yang dirasa pas dan sesuai dengan kemampuan anak.
Keuntungan yang terlihat selama ini adalah,anak dari luar daerah bisa bersekolah di sekolah yang sesuai dengan impiannya. Artinya lingkup pergaulan juga semakin luas ketimbang jenjang sebelumnya.
Nah, ZONASI. Seperti yang saya kutip di laman kemdikbud bahwa....
Keuntungan yang terlihat selama ini adalah,anak dari luar daerah bisa bersekolah di sekolah yang sesuai dengan impiannya. Artinya lingkup pergaulan juga semakin luas ketimbang jenjang sebelumnya.
Nah, ZONASI. Seperti yang saya kutip di laman kemdikbud bahwa....
Sistem zonasi, menurut Mendikbud, merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Dengan demikian, maka siapa yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah itu.
Disini saya akan mengibaratkan sebagai..
- MURID
Latar belakang kondisi rumah saya berjarak kurang lebih 6 km dari sekolah A yang saya incar. Meskipun jarak 3 km ada sekolah B, hanya saja secara kualitas yang ada sekolah A lebih unggul ketimbang sekolah B. Tentu, disaat mengincar sekolah A segala upaya akan saya lakukan. Ikut les,belajar lebih giat, banyak latihan soal dan berdoa.
Hasil yang saya peroleh dari nilai UN adalah nilai sangat memenuhi untuk di sekolah A. Ditambah ada piagam prestasi yang bisa digunakan untuk "menambah"skor supaya bisa masuk di sekolah A. Otomatis, impian bersekolah di sekolah A semakin dekat.
Akan tetapi, PPDB online yang saya alami meski nilai masuk tetapi posisi selalu tergeser karena zona tempat tinggal "kalah"dengan pendaftar lain sampai kuota memenuhi. Akhirnya... goodbye sekolah A. Mau tidak mau harus di sekolah B. Apa yang saya rasakan? KECEWA!!!!
Nggak akan saya jelaskan kecewa yang seperti apa, pasti kalian juga paham.
- ORANG TUA
Sejalan dengan keinginan anak, ketika orang tua dihadapkan pada sekolah pilihan pasti akan memilih sekolah yang dirasa memiliki kualitas bagus. Pengajar, kurikulum, prestasi yang sudah di raih. Bahkan, memilih sekolah anak bisa jadi ajang "napak tilas" kalau dulunya mama / papa juga sekolah disini.
Otomatis orang tua akan memfasilitasi anak untuk mendapatkan les tambahan, membelikan buku kumpulan soal, dan ikut mempersiapkan segala kebutuhan anak dalam menghadapi ujian nasional bahkan persiapan masuk di sekolah baru. Terutama dalam hal biaya.
Jika tidak di terima karena posisi tergeser karena zonasi? saya mendapati banyak orang tua yang ikut sedih, bingung nanti anaknya mau sekolah di sekolah yang tidak diminati, atau bahkan marah dengan kebijakan ini tapi bingung marah ke siapa. Atau ada kemungkinan protes ke dinas pendidikan karena dirasa nggak fair.
- GURU ( Sekolah)
Nah kalau ini.... senang karena sekolah mendapatkan murid yang sebelumnya tidak diketahui sama sekali riwayat akademiknya. Senang karena kuota murid bisa terpenuhi dengan mudah, otomatis sekolah tidak kawatir kekurangan murid.
TAPI..... ada sekolah lain yang masih kekurangan murid. Atau peminatnya kurang dan sekolah terancam tutup. Guru terancam tidak memenuhi syarat menerima tunjangan sertifikasi. Sementara penyelenggaraan sekolah yang mencetak guru juga menjamur. Harusnya diimbangi juga dengan memperketat bagaimana meluluskan seorang menjadi seorang guru ketimbang mempersulit untuk menjadi PNS. *uhuk!
Sebenarnya tujuan dengan sistem zonasi jika kita pahami lagi sebenarnya bagus. Seperti...
Menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru. Sistem zonasi juga diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen; dan membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan/afirmasi agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana prasarana sekolah, maupun peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan.
Atau lihat infografis ini deh...
Hanya saja jika dilihat kondisinya di lapangan, sudah meratakah pendidikan yang ada? Entah pemerataan fasilitas sekolah sampai pemerataan tenaga pengajar. Jika ingin mengadaptasi pendidikan yang ada di Jepang yang sudah menerapkan zonasi, MENURUT KACAMATA SAYA ada baiknya diteliti lagi, direvisi dulu setiap sekolahnya. Entah segi pengajaran, gurunya harus didiklat lagi, atau fasilitas yang harus diperbaiki.
Jika semua sekolah sudah memiliki kualitas yang sama, barulah sistem zonasi ini diterapkan. Jadi tidak ada kekecewaan dari berbagai pihak karena mau sekolah di mana saja semua kualitasnya SAMA.
Dan, pemerataan sekolah negeri juga perlu di perhatikan. Bukan hanya memberikan kemudahan izin penyelenggaraan sekolah swasta saja. Karena TIDAK SEMUA tempat tinggal dekat dengan akses sekolah. Untuk jenjang SD memang masih terlihat merata ada di setiap desa/kelurahan. Sedangkan SMP atau SMA umumnya ada di pusat kota.
Kondisi yang ada juga ketika dalam satu sekolah ada guru yang berkompeten, buru-buru guru itu menjadi incaran untuk di mutasi di sekolah berlabel sekolah favorit. Alih-alih meratakan pendidikan di desa dimana guru mengabdi, malah harus ditinggal untuk pindah di sekolah favorit tersebut. Terkadang memang rotasi guru juga terkesan kurang berpihak di sekolah pinggiran atau bahkan pelosok.
Padahal kan untuk berprestasi, anak desa /pelosok/pedalaman juga memiliki hak yang sama. ya nggak?
Tidak menutup kemungkinan juga ada orang tua yang setuju dengan sistem zonasi ini. Dengan dalih memang harus dimulai dari sekarang jika pendidikan ingin merata. Ya itu tidak salah karena memang urusan sekolah itu murni menjadi kebebasan para orang tua karena mereka sendirilah yang membiayai.
Harapan saya dari gegernya PPDB SMP di Purwodadi tahun ini adalah...
1. Lebih banyak disosialisasikan lagi baik lewat media massa atau elektronik mengenai sistem zonasi. Jadi baik murid atau orang tua bisa ancang-ancang dan mempersiapkan mental jika kemungkinan terburuk harus dihadapi. Intinya komunikasikan lagi yuk pak... Tak kenal zonasi maka tak sayang, jadi banyak-banyaklah mengedukasi masyarakat Indonesia tentang kebijakan ini.
2. direvisi lagi untuk pelaksanaannya supaya menyertakan nilai ujian sebagai salah satu syarat daftar sekolah. Zonasi 60%, nilai UN 25%, piagam prestasi 15%. Misalnya lho yaaa.... *kok enak banget* wkwkwkwk.
3. PR juga untuk para warga sekolah untuk lebih meningkatkan mutu dan kualitas sekolah, supaya tidak menjadi "sekolah pilihan terakhir". Kecuali jika menyasar sekolah swasta. beda lagi itu...
4. Lebih bijak lagi dalam merotasi guru terlebih guru PNS. Karena potensi yang ada jangan langsung meminta guru untuk mutasi di sekolah yang sudah berlabel bagus.
5. Agak menyimpang ya... coba deh lebih memperhatikan guru Non PNS yang memiliki beban kerja sama dengan PNS cuma beda bayarannya saja. Dengan begitu penyelenggaraan pendidikan akan dirasa lebih lega. Contoh, dipermudah lah pengajuan NUPTK, atau paling tidak diakui lah di dinas pendidikan, atau berilah tunjangan selayaknya mereka bekerja di sekolah sesuai dengan masa bakti mengabdi.
Jika tahun depan masih dengan sistem zonasi, saya berharap berbagai pihak bisa lebih kalem dalam menghadapi kebijakan ini. Banyak sharing pengalaman dengan orang tua yang sudah merasakan pahit getirnya sistem PPDB ini jauh lebih baik untuk kesiapan jiwa raga kita. Karena bukan hanya siswa dan orang tua saja yang degdegan.. guru juga loh.
sumber : https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/06/kemendikbud-sistem-zonasi-mempercepat-pemerataan-di-sektor-pendidikan
3 comments
Anak saya masih SD bu..ngejar anak buat ekstra belajar jadi down kalo ingat zonasi.����
ReplyDeletejangan diingat-ingat kalau begitu.. lebih dipelajari dan dipahami lagi mengenai zonasi.. pasti tidak akan ada usaha yang sia2 :)
DeleteApalagi sekolah negeri di PWD ndak gitu banyak ya. Padahal wilayahnya luas. Sisanya jadi masuk ke swasta ya kalo ndak masuk zonasi :(
ReplyDeleteSilahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)