Hidup Di Salatiga Mengajarkan Saya Sikap Toleransi Beragama

By Chela Ribut Firmawati - November 08, 2016

Disclaimer : tulisan ini tidak bermaksud menyinggung pihak maupun agama manapun. Pure curhatan yang pernah saya alami selama 4 tahun hidup di Salatiga.




Jadi gini, kalau ada pelajaran PKn jaman SD dulu salah satu sikap menjaga kerukunan itu adalah toleransi terhadap teman yang beda agama. Saya pikir itu cuma teori , tapi semua pikiran itu terpatahkan saat saya stay di Salatiga.

Kampus saya terbilang Indonesia mini. Etnis dari sabang sampai merauke, ada. Agama dari muslim sampai konghucu, ada. Kulit dari putih sampai ke kulit khas orang Papua, ada. Dari yang berjilbab sampai you can see, ada. Semua bersatu dan bertemu di kampus UKSW. Satu kata bagi saya. Harmonis.

Begitu juga fasilitas ibadah di kampus. Ada Kapel kalau saya bilang gereja yang rutin digunakan untuk ibadah setiap hari. Ada juga mushola meskipun di gedung pasca sarjana. Depan kampus ada gereja dan di sebelah kanan gereja *nyebrang jalan* juga ada masjid raya Kauman. Ketika umatnya melakukan ibadah, alhamdulillah saya tidak melihat adanya pihak yang memprovokasi untuk mengganggu kekhusyukan ibadahnya. Kehidupan beragamanya selaras.

Saya sadar setiap kelas di kampus ada patung salib. Tapi tiap kami berdoa sebelum dan sesudah perkuliahan bagi saya tidak terganggu. Bahkan ketika doa dipimpin dengan keyakinan Nasrani, saya dan teman muslim lainnya tidak keberatan. Justru kami merasa senang bahwa ketika kami dalam satu kelas terdiri dari beragam agama, kami bisa menuntut ilmu bersama dan kami belajar saling menghargai. Kami berdoa dengan keyakinan kami, begitupun sebaliknya.

Satu yang membekas di hati saya, ketika perkuliahan saya dipimpin oleh seorang pendeta yang kami panggil Pak Drie. Disaat kami yang muslim merayakan Lebaran, Pak Drie meminta kami untuk mengadakan acara halal bihalal yang notabene biasa dilakukan umat muslim.jujur saya kaget tapi kami senang karena beliau yang meminta. Ketika acara berlangsung dan sayalah yang jadi MC, saat pembacaan doa awal karena grogi saya terlalu cepat. Pak Drie berkomentar "saya juga hafal surat al-fatihah, lain kali kalau memimpin doa jangan terlalu cepat. Biarkan teman-temanmu khusyu dan meresapi setiap lafal yang mereka baca." Glek!

Saat kami sama-sama merayakan hari besar agama, gak ada istilah haram tuh buat ngucapin. Ketika lebaran dan saya pulang ke kost, akan ada ucapan selamat lebaran dan cipika cipiki dari teman-teman kos. Kami saling minta maaf dan kami gak segan juga buat makan bersama jajanan yang kami bawa dari rumah. Begitupun ketika mereka merayakan Natal, kami dengan senangnya memberikan ucapan ke teman kami yang merayakan, bahkan ketika natal saya sempat diundang untuk merayakan di rumah si ex. Meskipun sekedar makan-makan, ikut merasakan nuansa natal juga bikin saya senang.

Begitupun dalam kehidupan sosialisasi. Teman kami juga terdiri dari berbagai etnis. Gak jarang hubungan cinta beda agama mewarnai kisah cinta a la mahasiswa. Termasuk saya. Dalam bertemanpun kami gak milih-milih. Ketika waktunya solat, mereka yang non muslim gak sungkan buat nyuruh kita solat dulu bahkan mengantar ke masjid/mushola. Begitu juga yang non muslim, kami persilahkan mereka buat beribadah bahkan saya pernah mengikuti kegiatan ibadah di Balairung Utama Kampus. Dan dulu kalau malam minggu, jadwal apel di kos akan mundur 2jam karena si Ex mesti ikut misa dulu di gereja dekat rumah. Dan yang paling berasa ketika bulan puasa, ga segan teman di kos saling bangunin buat sahur. Kalau siang rasanya lemes, laper, dan haus mereka akan terus menyemangati kami biar puasanya ga bolong. Bahkan ketika tadarus habis taraweh gak segan juga buat menyimak. Dan saya dapat komentar "dengerin bacaan seperti ini adem juga ya di hati." Ah..

Jadi kalau sekarang saya lihat kejadian di lini masa rasanya miris. Provokasi sana sini, bahkan miris lagi share berita ini itu tapi kesannya justru malah memperpanas keadaan. Helaw.... bukankah sebaiknya kita tetap bersikap anggun aja? Diam jika sekiranya ga setuju, gak usah menghujat sana sini.

Sejatinya menurut saya. MENURUT SAYA. Agama itu untuk diimani dan diyakini. Agama itu bagi saya hubungan horizontal antara manusia dan Tuhan. Kita sama-sama manusia ga usah memberikan label ini ono ke sama-sama makhluk ciptaanNya. Bahwasanya negeri ini majemuk, sikap yang harus kita miliki agar negeri ini tidak terpecah belah adalah TOLERANSI.

Jadi, hidup di Salatiga itu ngangenin. Saya merasa disana adem ayem buat belajar dan buat bersosialisasi. Bahkan selama disana saya ga nemuin pertikaian antar agama. Yang ada kami belajar saling menghargai satu sama lain. Kami berbeda, tapi kami bisa bersatu. Berteman, bersosialisasi, jadi keluarga baru dan semua itu mengajarkan saya bahwa sikap toleransi itu sangat perlu. Itulah kenapa saya setiap kali mendengar kata Salatiga selalu muncul perasaan rindu.

Mungkin ada pihak yang kurang suka dengan postingan saya. Maaf ini hanya sekedar curhatan, dan ayolah jangan biarkan negeri ini terpecah belah apalagi dengan adanya provokasi yang berbau SARA. Damai aja yuk... kan Indonesia Bhineka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tapi tetap satu jua.

  • Share:

You Might Also Like

2 comments

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)