Jika hidup menyoal pilihan, tentu
pilihan saya (kami) adalah pilihan terpasrah dalam hidup. "Kalau gak
jadi guru, kami mau kerja apa?". Entah bagaimana orang memandang kami,
yang jelas selama menjalani profesi ini ada sebuah kepuasan tersendiri yang
saya (kami) rasakan. Pun kepuasan itu berlanjut sampai saat ini dalam status
menjadi seorang istri dan ibu satu anak. Banyak yang nyinyir dengan pekerjaan
kami, gak sedikit pula yang menganggap kami sebagai orang mapan dengan gaji
jutaan. Bahkan bagi sebagian, kami ini adalah manusia maha tau segalanya dalam
urusan “minteri” anak.
Setiap pagi saya (kami) berbalut
seragam kebanggaan layaknya pegawai beneran. Kaki dibungkus sepatu mahal yang
bisa kami beli dengan cara nyicil atau bahkan dibeliin orang tua. Setiap pagi
meskipun menjadi guru langganan telat akan tetap dinanti puluhan pasang mata
yang siap menyerap ilmu dari kami. Bahkan kerja kami ibarat kerja Rodi di jaman
Belanda hanya beda masa. Alih-alih ngebantu senior, tapi kalau tunjangan gak
keluar kami siap menerima bulan-bulanan caci maki mereka.
Jika soal kembali soal pilihan, kami
tentu akan memilih kerja dengan gaji melimpah. Kami akan memilih kerja dengan
gaji yang setara dengan kucuran keringat dan perasan otak tiap harinya. Jika
menyoal pilihan dengan tergoda tawaran kerja lainnya, serta merta meninggalkan
seragam kebanggaan dan berganti dengan seragam baru atau lebih memilih usaha
mandiri. Jika pilihan itu selalu datang menggoda, lantas siapa pula yang peduli
dengan mereka calon penerus bangsa?.
Guru adalah pekerjaan saya dan suami.
Ditempeli profesi menjadi guru adalah satu dari jalan kami mengais rejeki
meskipun tidak seberapa. Banyak yang bilang ke kami untuk banting stir demi
mencukupi beban biaya hidup yang semakin hari semakin mahal. Tapi kembali lagi
bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Ada berkah tak terlihat dibalik pilihan
kami, ada rejeki yang mengikuti saya, suami, dan anak saya melalui pekerjaan kami,
terkesan munafik dan klise tapi apakah perlu saya ceritakan perjuangan kami
tiap harinya? enggak! Saya tidak mengharapkan belas kasih, tetapi cukup doakan
kami yang tergabung sebagai guru honorer di negeri ini.
Terlalu muluk-muluk jika kami terus
mengharapkan “bersahabatnya” kebijakan pemerintah. Terlalu berlebihan jika kami
mengharapkan perhatian pemerintah. Gusti Allah berkata tidak ada yang merubah
nasib kaumnya melainkan diri sendiri. Hidup adalah pilihan dan saya memilih
menjadi guru mendampingi suami saya, meneruskan cita-cita bapak, Dan saya masih
bertahan menjadi guru berkat doa dan ridho ibu dan ibu mertua saya.
Saya tidak mengiba tetapi saya ingin
sekali terus membakar semangat diri saya seperti semangat suami saya.
Lelah tidak dirasa dan akan hilang jika melihat anak kami. Sedih tidak kami
turuti (lagi) karena diantara kami ada sekelompok anak-anak yang selalu membawa
keceriaan. Dan dari mereka juga datang kebahagiaan meskipun hanya sebungkus
energen dan sebotol sampo bayi sampai di rumah saya dengan berbalut plastik
indomaret.
Ah iya….saya harus bersyukur! Tidak
ada yang salah dengan pilihan saya menjadi seorang guru. Tidak ada yang salah
juga dengan pilihan saya dinikahi oleh seorang guru. Dan bagi kalian calon guru
yang sekolahnya sekarang amat sangat gampang, tanyakan diri kalian lagi deh.
Beneran siap jadi guru? Jangan hanya modal tas branded KW 5 dan alis tebel
dandanan menor! Tapi coba tanya diri kalian, siap mengorbankan diri di dunia
pendidikan negeri ini? Kalau siap, mari kita berjuang!!!
Postingan sok lebay bin mellow ini
harusnya diposting pas Hardiknas, sih.
Telat 4 hari, gapapa deh!!!!
11 comments
Kalau melihat keakrabanmu dengan murid-muridmu, dirimu guru yang mencintai dunia pendidikan yang mengajar dengan hati.
ReplyDeleteTerus berjuang bu guru kecil..
Makasih mbak ety
DeleteMurid2 tak melihat guru honorer / bkn. Yg penting guru mereka yg penuh perhatian. Setiap pilihan mmg membawa konsekwensi.. Apapun pilihanmu jk dijalani dg sungguh2 insya Allah barokah... Tetap semangat ya Say...
ReplyDeleteSemangat mbak mechta....anak2 memang ga melihat honorer atau pns, yg mereka lihat ya gurunya....
DeleteTetap semangat, Cheila. I feel you karena dulu pernah jadi tata usaha status honorer. :)
ReplyDeleteSemangat Chel..baru telat 4 hari kok. Kalo udah telat 2 bulan nah...kata dokter udah gak bisa diapa-apain lagi. Harus diterusin sampe lahiran (*apa sih?)
ReplyDeleteInsyaAllah perjuanganmu ada hasilnya. Kalo masih bisa, akupun pengen bisa ngajar lagi...beberapa tahun lalu, aku ngajar SD dengan honor 50rb per bulan. Padhal jarak rumah ke sekolah kurang lebih 35km. Hehe...
ReplyDeletembak cheila tugas mu sungguh mulia mbak, dua teman ku guru dan memang masih honorer, dia menikmati karena memang suka, semoga jasa para ibu guru mendapatkan balasan yang serupa
ReplyDeleteKecintaan murid kepada guru merupakan wujud dari penghargaan tertinggi mereka dan kami sebagai orang tua. Terus semangat mba
ReplyDeletebner tuh mba, setuju banget aku. Cukup allah saja yang membalas amal kita, pemerintah mah nomer dua, Semoga kita dikaruniai Keiklasan, amiin
ReplyDeleteTerus semangat mba.. :-) saya juga seorang guru. Dan calon suami saya juga seorang guru. Saya sedang mencari-cari tulisan dan motivasi untuk diri saya. Meyakinkan bahwa pilihan ini tepat. InsyaAllah...
ReplyDeleteSilahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)