Bener sih kalau ada
istilah jujur itu mahal. Soalnya saya sendiri mengalami dimana saya kecolongan
dengan murid saya. Jadi ceritanya mid semester kemarin saya masih cuti,
anak-anak dalam pengawasan guru lain. Begitu masuk kerja saya mendapat laporan
kalau si anak A pas mid semester dapat kunci jawaban. Karena saya sama sekali
belum tahu kronologinya cukup saya menampung laporan dari guru tersebut.
Sebagai wali kelas dan bertanggungjawab penuh
terhadap anak-anak di sekolah saya ga boleh tinggal diam. Saya awali dengan
kroscek ke teman sekelasnya apa benar si A dapat kunci jawaban soal mid,
ternyata anak-anak membenarkan. Terus saya panggil si A secara empat mata dan
mulailah saya tanya ini itu. Jawaban si anak ini cenderung polos banget karena
dia mengakui kalau memang mendapat bocoran kunci jawaban dari saudaranya.
"Apa ibu kamu gak tau kalau saudaramu itu kasih bocoran kunci
jawaban?" Si anak menjawab "iya ibu tau, katanya biar nilai saya
bagus bu". Oke.
Mendengar pengakuan si anak saya sebenarnya marah.
Ya marah ke si anak dan marah juga ke ibu dan saudaranya itu. Disaat saya
berusaha mengajarkan dan membiasakan kepada anak-anak untuk berlaku jujur dalam
hal apapun, kenapa justru dari orang terdekatlah yang (maaf) memberikan contoh
sikap gak jujur? Apakah saya kecewa? Pasti.
Saya heran dimana ada guru yang
"nakal" dengan memberikan bocoran soal atau bahkan kunci jawaban.
Sebagai anak yang dibesarkan oleh bapak yang berprofesi sebagai guru, sekalipun
bapak gak pernah kasih bocoran soal atau bahkan kunci jawaban ke saya. Justru
saya dulu belajar sambil disediakan stik drum. Kalau gak bisa jawab atau
saya malas belajar pasti akan ada bekas merah baik di paha atau lengan. Bapak
bilang "berikan pancingnya, bukan ikannya". Ya, belajar seperti itu
yang bikin saya sampai sekarang ini.
Memang peluang untuk memberikan kunci jawaban
kepada anak bisa terjadi, tapi semua kembali lagi ke individu masing-masing.
Haruskah kita yang sebagai agen perubahan bangsa membekali anak dengan sikap
tidak jujur yang sengaja kita lakukan? Kalaupun iya menurut saya jangan jadi
guru deh. Bukan berarti saya sok suci ataupun idealis, tapi kalau menuntut ilmu
aja ga mengikuti jalan yang benar apa bisa barokah? Ini semacam peringatan juga
bagi saya dan mungkin bagi teman-teman guru yang lain. Teladan kita itu sangat
menentukan mereka dan juga orang tua harus sadar bahwa sekolah tidak semata
nilai delapan atau sembilan berderet di rapor. Ketika sekolah sudah
berusaha menerapkan kejujuran dan meneladani anak dengan sikap jujur dan
sportif tetapi tidak didukung pihak orang tua, apakah sepenuhnya menjadi
kesalahan guru jika si anak mendapatkan hasil yang tidak seperti diharapkan
oleh si orang tua? Jujur ya saya aja capek dengar komentar “anak saya nilainya
jelek, gurunya bisa ngajar apa gak sih?” lalu sebagai orang tua sudahkan kalian
mendampingi anak belajar dirumah?
Suka duka jadi guru sih
ya begini, bukan pengen mengeluh tapi saya kecewa saja. Jika buku keramat yang
diterima mereka setiap akhir tahun saja berderet nilai sembilan puluh tapi
hasil dari mencontek atau dikasih bocoran, apakah gak malu tuh orang tuanya. Atau
justru malah bangga dengan memberikan hadiah seperti tas, sepatu, alat tulis, sepeda atau
bahkan gadget. Entahlah saya cukup heran dengan fenomena seperti ini. Semoga saya
bisa menjalani peran guru ini dengan baik dan tetap istiqomah. Aamiin.
8 comments
aku juga sedih pas ada anak yang bilang kalo nyontek, atau nyiapin kepekan. nah selama ini dia les dan belajar di sekolah buat apa kalo akhirnya pakai jurus itu? :(
ReplyDeleteSelama kenaikan kelas masih berdasarkan deret angka, praktek gini selalu ada dan diwariskan secara turun-temurun
ReplyDeletepadahal sekali pernah nyontek ataupun dapet bocoran, bakalan kebiasaan tuh nanti di sekolah2 berikutnya
ReplyDeleteMeski aku bukan guru di sekolah, tiap kali ngajar les berusaha sebisa mungkin nyisipkan pesan untuk sportif dan jujur. Sayangnya, tidak semua orangtua mau diajak duduk bicara soal anaknya. Mereka justru 'pasrah bongkokan' istilahnya, inginnya tahu jadi: si anak punya nilai tinggi. Kalau sudah ketemu yang model begini, ngelus dada aku, Bu Guru. Lalu mbatin, "Siapa ta yang jadi orangtuanya? Saya atau panjenengan?"
ReplyDelete*melu curhat* :))
yang sabar bu guru.. sebagai seorang murid, saya juga pernah menyontek. emang rasanya kayak nilai yang ada di rapor itu nilai palsu karena bukan asli didapat sendiri. mau dinasihatin kayak apapun, pasti tetep aja ada 1 atau 2 murid yang nyontek. mostly mereka melakukannya karena memang ada kesmepatan untuk melakukannya.
ReplyDeleteAku juga kesel geram dengan sifat menyontek itu apalagi orng terdekat kasih kunci jawaban. Entahlah apa hal semacam itu sudah menjadi budaya bagi grnerasi kita dan postingan ini mewakili isi hati saya bnget yg juga sama profesinya sama mba.
ReplyDeletebener bangeet sangat mihiiil bu guru..
ReplyDeletetapi balik lagi ke orang tua, untuk mengajarkan kejujuran dalam segala hal, termasuk kalo menyontek tuh ga jujur dan membohongi diri sendiri.
semangat bu guru!!
duh ko bs ya gurunya begituuu
ReplyDeleteSilahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)