Langen Tayub Grobogan

By Chela Ribut Firmawati - May 23, 2014

Di kotaku ini ada sebuah kesenian, penikmat kesenian ini biasanya kaum adam. Didominasi bapak-bapak tapi tidak jarang pula aku menjumpai anak muda juga menikmati kesenian ini. Meskipun hanya hitungan jari sih anak mudanya. Bahkan kalau ada kesenian ini, para kaum adam rela pulang pagi loh. Kesenian ini juga dibilang langka karena biasanya ada diacara hajatan nikahan atau sunatan bahkan tradisi sedekah bumi. 


pict source
Adalah kesenian Langen Tayub. Tayub berarti ditata supaya guyub.  Bagi penduduk asli kabupaten Grobogan pastinya tau banget soal kesenian ini. Langen Tayub atau dikenal dengan Lengen Beksan atau Ledhek adalah kesenian yang menyuguhkan gemulainya para penari cantik yang biasa disebut Ledhek, alunan merdu gending-gending jawa lewat nyanyian dan iringan seperangkat gamelan, serta adanya penikmat tari (penayub) yang rela antri demi menari bersama ledhek. Ledhek ini berpenampilan cantik lengkap dengan sanggul, kemben dan sampur. Ledhek memiliki arti Lodhok atau lubang besar, jaman dulu banyak yang memperlakukan ledhek secara “nakal”. Entah itu curi-curi mencium pipi si Ledhek atau pegang-pegang area tubuh yang memang gak sopan. Bermula dari itu Ledhek dianggap sebagai hiburan yang negatif karena ulah para penari yang nakal itu. Fenomena itu terjadi sebelum  tahun 1970an.

Giyantini CS.. Ledhek paling tenar di Grobogan
Di era modern, istilah Ledhek diganti dengan Larasati dengan maksud agar citra negatif Ledhek selama ini bisa berubah menjadi sebuah kesenian yang positif. Hal ini bisa dilihat dari bermetamorfosisnya dari segi pakaian para Larasati yang sudah tertutup namun tetap menampilkan kesan sexy, dan juga aturan-aturan bagi para penari agar tidak nakal dengan para Larasati. Selain itu ada semacam nomor antrian untuk giliran menari jadi berjalannya kesenian ini bisa tertib dan tidak berebut. Bisa dibayangkan toh kalau kaum adam liat penari cantik kayak gimana. Hahaha…

Yang menarik dari kesenian ini adalah gambaran kerukunan, kebersamaan, dan kebahagiaan kaum rakyat kecil. Yang mana kata bapak sebagai narasumber saya kali ini, dulu kesenian ini adalah kesenian paling murah dan dinikmati rakyat kecil. Selain itu ritual dan adat-adat jawa disini sangatlah kental. Ada beberapa tahapan sebelum kesenian ini dimulai. Namanya kesenian jawa tentu tidak lupa memberikan syarat bagi sesepuhnya terlebih dahulu. Ribet yah… begitulah adat di daerahku.

Ritual pertama adalah duduk penghormatan kepada si empunya rumah. Dimana si tuan rumah dipersilahkan duduk dengan diapit para Larasati yang sambil menyanyikan sebuah gending jawa. Maknanya adalah memohon kepada Tuhan, si tuan rumah, dan para tamu agar pelaksanaan kesenian ini berjalan dengan lancar. Simbol persembahan ini melalui gending-gending pembuka seperti Jineman Uler Kambang (dalam berbuat kita harus berhati-hati dan pelan-pelan), dilanjutkan gending romantis seperti Sinom Parijotho atau Sinom Nyamat, dan juga gending Pangkur  palaran (kita tinggalkan hal-hal buruk untuk mencapai kebaikan).

Ada juga ritual luwaran. Ritual ini ada jika si tuan rumah pernah memiliki ujar atau janji kepada Tuhan YME. Istilah lain sih nadzar.  Misal jika sakit-sakitan dan bisa sembuh maka akan mendatangkan kesenian Ledhek di rumah, atau kalau anak pertama yang lahir adalah cowok nanti kalau umur 1 bulan ditanggapin Ledhek. Seperti bapak dulu pernah berjanji kalau saya lahir sebagai cowok maka akan ditanggapin Ledhek, lha keluarnya cewe yaa dibarengin waktu nikahan mbak ajah. Hahaha.. Balik lagi soal ritual luwaran, ubo rampe yang disediakan adalah kupat luwar (ketupat yang berbentuk jajar genjang), beras kuning, telur ayam jawa, pusaka keris, dan juga kendi berisi air. Dimana tata caranya setelah si tuan rumah menyampaikan ikrar/janjinya, kemudian berdoa dan setelah itu telur jawa bersama kendi dibanting. Terakhir beras kuning disebar sebagai tanda janji sudah di luwari atau terlaksana.

Dari sudut pandang saya yang pernah tau dan menikmati kesenian ini, ada beberapa hal yang saya ambil. Segi positif :
  • Merupakan kesenian paling dinamis, sopan, dan tertib. Dalam hal ini saya membandingkan dengan hiburan dangdut yang sering diwarnai aksi saling senggol dan tawuran. Kerap terjadi sih didaerah saya.
  •  Budaya jawa, kerukunan, persahabatan dan silaturahmi nampak lebih kental. Tak jarang ketika acara hajatan atau sedekah bumi banyak orang-orang dari luar daerah yang datang untuk menikmati kesenian langen tayub. 
  • Mewariskan tradisi leluhur yang mana globalisasi sekarang ini berdampak kesenian lokal semakin terpinggirkan.
  • Seperti yang saya katakan sebelumnya, Tayub adalah kesenian rakyat kecil tetapi sekarang ini sudah merambah ke kaum menengah atas.

Segi negatif :
  • Adanya kesenian ini bisa juga dipakai ajang untuk menikmati miras.
  • Memicu keretakan rumah tangga. Bagi para pencemburu sih harus hati-hati kalau suaminya menyukai kesenian ini. Hahaha…
  • Bagi kaum fanatik agama pasti sangat menolak dengan keberadaan kesenian ini. Maaf bukan SARA tapi realita seperti ini yang terjadi.

Nah, agar kesenian Langen tayub tidak semakin tenggelam bahkan hilang sebenarnya ada beberapa usulan saya agar potensi kesenian ini bisa menjadi simbol kesenian utama di Grobogan, antara lain:
  • Diinovasi dari segi pelaksanaannya agar tidak sampai larut malam
  • Pemkab bersama disporabudpar untuk mengadakan lomba tayub. Tujuannya adalah mencari bibit baru sebagai penerus kesenian Langen Tayub.
  •  Memberikan wadah bagi para pecinta kesenian ini dengan membentuk sebuah paguyuban tayub agar tidak hilang. Atau membuat sebuah perkampungan khusus untuk belajar dan berlatih tayub, baik berlatih nyinden, main gamelan, sampai menari. Kayaknya seru kan…


 Itu tadi salah satu potensi kesenian di daerahku. Mau lihat kesenian ini? yuk datang Grobogan.. hehehe... Sila lihat dulu video yang saya ambil dari youtube...







Sumber gambar :
FP Grobogan bersemi
google.com : http://i1.ytimg.com/vi/0Cww5_KaR88/hqdefault.jpg
youtube.com : http://www.youtube.com/watch?v=uIEjY-6QmF4

  • Share:

You Might Also Like

18 comments

  1. kayaknya sudah mulai hilang deh... kalah sama organ tunggal... :(

    ReplyDelete
  2. biasanya emang pada minum2, mba. hiks.

    ReplyDelete
  3. betul itu kalau kesan negatfinya bisa dihilangkan tentunya dapat meningkatkan potensi daerah dan perlu perlindungan agar tak punah

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak...rasanya sayang bgt kalau punah kesenian ini

      Delete
  4. Sesuk nek nikahan mesti nanggap iki yo, Mba. :D

    Semoga kesenian ini terus dilestarikan. Nambah guyupe warga.

    ReplyDelete
  5. Pakdheku hobi banget sama hiburan yang satu ini buk :D "ledhek" jatipohon terkenal wuayu-wuayu.

    ReplyDelete
  6. Assalamu'alaikum. Maaf Bunda numpang Berbagi Info. Informasi bagi para bunda, Kini hadir Pusat Herbal Ibu Hamil dan Kewanitaan. Monggo utk berkunjung (Obat Herbal Ibu Hamil dan Kewanitaan). Terima Kasih

    ReplyDelete
  7. aku baru tahu nih potensi seni daerah dari grobogan

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini baru salah satu lho mak..masih ada yang lain...

      Delete
  8. apalagi kalo yang nyeni si Chela Riibut, wiiidiiiiiihhhhhhhh "tarik manggggg"
    pasti kesenian daerah makin digemari banyak masyarakat, apalagi kalo yg request banyakan para pria...ga akan punah deh...wong yang voting banyakkk :)

    ReplyDelete
  9. Bagus juga metamorfosisnya. Menonton tayub jadi lebih asyik jika bergiliran. AKu penikmat hiburan semacam ini, cuma tak suka potensi dosanya. hahahaha......
    ledek = larasati... xixi... pilihan kata yg bagus.

    ReplyDelete
  10. Kesenian ledhek sangat bagus hidup grobogan yang masih nguri nguri budaya tersebut.

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)