Di kotaku ini ada sebuah
kesenian, penikmat kesenian ini biasanya kaum adam. Didominasi bapak-bapak tapi
tidak jarang pula aku menjumpai anak muda juga menikmati kesenian ini. Meskipun
hanya hitungan jari sih anak mudanya. Bahkan kalau ada kesenian ini, para kaum
adam rela pulang pagi loh. Kesenian ini juga dibilang langka karena biasanya
ada diacara hajatan nikahan atau sunatan bahkan tradisi sedekah bumi.
pict source |
Adalah kesenian Langen Tayub.
Tayub berarti ditata supaya guyub. Bagi
penduduk asli kabupaten Grobogan pastinya tau banget soal kesenian ini. Langen
Tayub atau dikenal dengan Lengen Beksan atau Ledhek adalah kesenian yang
menyuguhkan gemulainya para penari cantik yang biasa disebut Ledhek, alunan
merdu gending-gending jawa lewat nyanyian dan iringan seperangkat gamelan, serta
adanya penikmat tari (penayub) yang rela antri demi menari bersama ledhek. Ledhek
ini berpenampilan cantik lengkap dengan sanggul, kemben dan sampur. Ledhek
memiliki arti Lodhok atau lubang besar, jaman dulu banyak yang memperlakukan ledhek
secara “nakal”. Entah itu curi-curi mencium pipi si Ledhek atau pegang-pegang
area tubuh yang memang gak sopan. Bermula dari itu Ledhek dianggap sebagai
hiburan yang negatif karena ulah para penari yang nakal itu. Fenomena itu
terjadi sebelum tahun 1970an.
Giyantini CS.. Ledhek paling tenar di Grobogan |
Di era modern, istilah Ledhek
diganti dengan Larasati dengan maksud agar citra negatif Ledhek selama ini bisa
berubah menjadi sebuah kesenian yang positif. Hal ini bisa dilihat dari
bermetamorfosisnya dari segi pakaian para Larasati yang sudah tertutup namun
tetap menampilkan kesan sexy, dan juga aturan-aturan bagi para penari agar
tidak nakal dengan para Larasati. Selain itu ada semacam nomor antrian untuk
giliran menari jadi berjalannya kesenian ini bisa tertib dan tidak berebut.
Bisa dibayangkan toh kalau kaum adam liat penari cantik kayak gimana. Hahaha…
Yang menarik dari kesenian ini
adalah gambaran kerukunan, kebersamaan, dan kebahagiaan kaum rakyat kecil. Yang
mana kata bapak sebagai narasumber saya kali ini, dulu kesenian ini adalah
kesenian paling murah dan dinikmati rakyat kecil. Selain itu ritual dan adat-adat jawa disini sangatlah
kental. Ada beberapa tahapan sebelum kesenian ini dimulai. Namanya kesenian
jawa tentu tidak lupa memberikan syarat bagi sesepuhnya terlebih dahulu. Ribet yah…
begitulah adat di daerahku.
Ritual pertama adalah duduk
penghormatan kepada si empunya rumah. Dimana si tuan rumah dipersilahkan duduk
dengan diapit para Larasati yang sambil menyanyikan sebuah gending jawa.
Maknanya adalah memohon kepada Tuhan, si tuan rumah, dan para tamu agar
pelaksanaan kesenian ini berjalan dengan lancar. Simbol persembahan ini melalui
gending-gending pembuka seperti Jineman Uler Kambang (dalam berbuat kita harus
berhati-hati dan pelan-pelan), dilanjutkan gending romantis seperti Sinom
Parijotho atau Sinom Nyamat, dan juga gending Pangkur palaran (kita tinggalkan hal-hal buruk untuk
mencapai kebaikan).
Ada juga ritual luwaran. Ritual
ini ada jika si tuan rumah pernah memiliki ujar atau janji kepada Tuhan YME. Istilah
lain sih nadzar. Misal jika
sakit-sakitan dan bisa sembuh maka akan mendatangkan kesenian Ledhek di rumah,
atau kalau anak pertama yang lahir adalah cowok nanti kalau umur 1 bulan
ditanggapin Ledhek. Seperti bapak dulu pernah berjanji kalau saya lahir sebagai
cowok maka akan ditanggapin Ledhek, lha keluarnya cewe yaa dibarengin waktu
nikahan mbak ajah. Hahaha.. Balik lagi soal ritual luwaran, ubo rampe yang
disediakan adalah kupat luwar (ketupat yang berbentuk jajar genjang), beras
kuning, telur ayam jawa, pusaka keris, dan juga kendi berisi air. Dimana tata
caranya setelah si tuan rumah menyampaikan ikrar/janjinya, kemudian berdoa dan
setelah itu telur jawa bersama kendi dibanting. Terakhir beras kuning disebar
sebagai tanda janji sudah di luwari atau terlaksana.
Dari sudut pandang saya yang
pernah tau dan menikmati kesenian ini, ada beberapa hal yang saya ambil. Segi
positif :
- Merupakan kesenian paling dinamis, sopan, dan tertib. Dalam hal ini saya membandingkan dengan hiburan dangdut yang sering diwarnai aksi saling senggol dan tawuran. Kerap terjadi sih didaerah saya.
- Budaya jawa, kerukunan, persahabatan dan silaturahmi nampak lebih kental. Tak jarang ketika acara hajatan atau sedekah bumi banyak orang-orang dari luar daerah yang datang untuk menikmati kesenian langen tayub.
- Mewariskan tradisi leluhur yang mana globalisasi sekarang ini berdampak kesenian lokal semakin terpinggirkan.
- Seperti yang saya katakan sebelumnya, Tayub adalah kesenian rakyat kecil tetapi sekarang ini sudah merambah ke kaum menengah atas.
Segi negatif :
- Adanya kesenian ini bisa juga dipakai ajang untuk menikmati miras.
- Memicu keretakan rumah tangga. Bagi para pencemburu sih harus hati-hati kalau suaminya menyukai kesenian ini. Hahaha…
- Bagi kaum fanatik agama pasti sangat menolak dengan keberadaan kesenian ini. Maaf bukan SARA tapi realita seperti ini yang terjadi.
Nah, agar kesenian Langen tayub
tidak semakin tenggelam bahkan hilang sebenarnya ada beberapa usulan saya agar
potensi kesenian ini bisa menjadi simbol kesenian utama di Grobogan, antara lain:
- Diinovasi dari segi pelaksanaannya agar tidak sampai larut malam
- Pemkab bersama disporabudpar untuk mengadakan lomba tayub. Tujuannya adalah mencari bibit baru sebagai penerus kesenian Langen Tayub.
- Memberikan wadah bagi para pecinta kesenian ini dengan membentuk sebuah paguyuban tayub agar tidak hilang. Atau membuat sebuah perkampungan khusus untuk belajar dan berlatih tayub, baik berlatih nyinden, main gamelan, sampai menari. Kayaknya seru kan…
Sumber gambar :
FP Grobogan bersemi
google.com : http://i1.ytimg.com/vi/0Cww5_KaR88/hqdefault.jpg
youtube.com : http://www.youtube.com/watch?v=uIEjY-6QmF4
18 comments
kayaknya sudah mulai hilang deh... kalah sama organ tunggal... :(
ReplyDeletebetul sekali....padahal asik lho mas,,,hahah
Deletebiasanya emang pada minum2, mba. hiks.
ReplyDeleteitu yang disayangkan la....
Deletebetul itu kalau kesan negatfinya bisa dihilangkan tentunya dapat meningkatkan potensi daerah dan perlu perlindungan agar tak punah
ReplyDeleteiya mbak...rasanya sayang bgt kalau punah kesenian ini
DeleteSesuk nek nikahan mesti nanggap iki yo, Mba. :D
ReplyDeleteSemoga kesenian ini terus dilestarikan. Nambah guyupe warga.
iyo dah nek nikahan naggap iki...hahaha
DeletePakdheku hobi banget sama hiburan yang satu ini buk :D "ledhek" jatipohon terkenal wuayu-wuayu.
ReplyDeletewalah hobi ya..hahaha
DeleteAssalamu'alaikum. Maaf Bunda numpang Berbagi Info. Informasi bagi para bunda, Kini hadir Pusat Herbal Ibu Hamil dan Kewanitaan. Monggo utk berkunjung (Obat Herbal Ibu Hamil dan Kewanitaan). Terima Kasih
ReplyDeleteaku baru tahu nih potensi seni daerah dari grobogan
ReplyDeleteini baru salah satu lho mak..masih ada yang lain...
Deleteapalagi kalo yang nyeni si Chela Riibut, wiiidiiiiiihhhhhhhh "tarik manggggg"
ReplyDeletepasti kesenian daerah makin digemari banyak masyarakat, apalagi kalo yg request banyakan para pria...ga akan punah deh...wong yang voting banyakkk :)
wakakaka..sampe voting segala sihhh
DeleteBagus juga metamorfosisnya. Menonton tayub jadi lebih asyik jika bergiliran. AKu penikmat hiburan semacam ini, cuma tak suka potensi dosanya. hahahaha......
ReplyDeleteledek = larasati... xixi... pilihan kata yg bagus.
lebih halus miii nyebutnya..hahaha
DeleteKesenian ledhek sangat bagus hidup grobogan yang masih nguri nguri budaya tersebut.
ReplyDeleteSilahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)