Mengajarkan atau Dicontohkan?

By Chela Ribut Firmawati - March 01, 2011

Kalau kita berbicara tentang Indonesia, kebanyakan orang akan mengatakan Indonesia adalah negara yang besar. Kebanyakan para pejabat pemerintah juga mengatakan seperti itu. Tetapi kalau ditelaah lagi, sebenarnya Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar. Benar atau tidak? silahkan direnungkan sendiri.

Seperti yang kita ketahui, pendidikan di Indonesia terinspirasi dari tokoh lokal, yaitu Ki Hajar Dewantoro dengan semboyanya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung). Dan jika kita melihat pendidikan di Indonesia, saya bisa mengatakan belum konsisten. Tuntutan pihak terkait mematok seperti "ini" namun, mereka belum meperhatikan fakta dilapangan (itu menurut pandangan saya). Contohnya siswa belajar susah payah mengejar nilai untuk Ujian Nasional, sementara masa tempuh sekolah seperti untuk SD 6 tahun dan hanya ditentukan kelulusannya dengan nilai UAN. Apa itu adil? Sistem pendidikan di Indonesia sejauh ini menerapkan teori Bloom bahwa hasil belajar siswa digolongkan dalam tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Penerapannya sisi kognitif lah yang mendapat sorotan paling penting. Sebagai contoh ketika orang tua memandang nilai adalah hal yang paling utama dalam mengukur kecerdasan anak. Saya juga merasakan seperti itu, orang tua saya sering memarahi ketika nilai saya jelek.

Hal yang sangat menggelitik imajinasi saya ketika kuliah tadi pagi adalah saat dosen saya mengatakan "Pendidikan itu bukan diajarkan, namun pendidikan itu dicontohkan". Sebagai ilustrasinya ketika seorang guru sering datang terlambat, lalu siswa datang terlambat dan guru itu memarahi. Dan saat siswa ditanya kenapa terlambat tak jarang siswa berani mengatakan "bu guru juga sering terlambat". Seorang guru membuang sampah disembarang tempat, keesokan hari guru itu melihat siswa membuang sampah di sembarang tempat. Ketika ditanya siswa itu bisa menjawab "pak guru juga buang sampah sembarangan". Lalu, bagaimana sikap kita sebagai seorang pengajar. Dalam hal ini bukan hanya guru, namun orang tua juga menjadi panutan.

Menjadi seorang pengajar adalah amanah yang menurut saya tidak mudah. Dimana kita harus memulai dari diri kita sendiri dan menjadi contoh bagi peserta didik. Saya setuju ketika dosen saya berpendapat seperti itu bahwa pendidikan bukan diajarkan, namun pendidikan itu dicontohkan. Dan pesan yang saya dapat menakala saya mengajukan pertanyaan kepada pak dosen "kita sebagai calon pengajar yang nantinya akan membawa dunia pendidikan Indonesia, menurut bapak harus bersikap bagaimana?" jawaban dari pak dosen adalah "kenali lebih dalam pelopor Indonesia, dan mulailah dari diri Anda masing-masing ketika anda akan terjun ke dunia pendidikan yang sebenarnya. Dan perhatikan bahwa ketiga aspek dalam teori Bloom harus berjalan beriringan, dimana kognitif harus diimbangi dengan afektif atau sikap moral dan ditunjang dengan life skill".

Mari kita renungkan, bagaimana seharusnya kita membawa perubahan dalam negeri ini!!!!

  • Share:

You Might Also Like

4 comments

  1. Kalau saja semboyan Ki Hajar Dewantara tadi mau benar-benar diterapkan kayaknya sudah cukup deh untuk bisa membawa perubahan di negeri ini. :)

    Gak cuman oleh pengajar, tapi setiap orang.

    ReplyDelete
  2. saatnya bu guru kecil memulai perubahan :)

    ReplyDelete
  3. Kembali pada kalimat sakti ya Mbak, di gugu lan ditiru..

    ReplyDelete
  4. emang susah jadi pengajar
    bakal jadi contoh

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan jejak di blog guru kecil ya. Mohon untuk tidak memberikan LINK HIDUP dalam kolom komentar. Jika memang ada,komen akan di hapus. Terimakasih;)